RAJA PEDANG JILID 01
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
“Lima warna membutakan mata….!” Terdengar suara berat dan parau membaca doa.
“Lima warna membutakan mata…….!” Menyusul suara nyaring tinggi, suara kanak-kanak yang berusaha keras menirukan nada suara pertama.
“Lima bunyi menulikan telinga………!” Kembali suara anak kecil tadi mengulang kata-kata itu.
Suara ini saling susul dan selengkapnya diucapkan oleh suara parau ditiru suara anak kecil itu ujar-ujar lengkap dari kitab To-tek-keng seperti berikut :
Lima warna membutakan mata,
Lima bunyi menulikan telinga
Lima rasa merusak mulut
Mengejar kesenangan merusak pikiran,
Barang berharga membuat kelakuan menjadi curang
Inilah sebanya orang budiman,
Mengutamakan urusan perut,
Tidak mempedulikan urusan mata,
Ia pandai memilih ini membuang itu,
Kalau suara-suara ini terdengar dari sebuah klenteng Agama To, hal itu tak perlu diperhatikan lagi karena memang lumrah kalau seorang tosu memberi pelajaran-pelajaran dari kitab To-tek-keng kepada anak muridnya. Atau seorang kepada guru sastra mengajarkan ayat-ayat kitab itu kepada muridnya.
Akan tetapi anehnya, dua suara yang saling susul itu terdengar dari dalam sebuah hutan yang lebat, hutan yang jarang didatangi manusia dan menjadi sarang dari harimau-harimau, ular-ular besar dan lain binatang buas. Kalau pun ada manusianya tentulah sebangsa manusia perampok.
Apabila kita melihat ke dalam hutan itu untuk mengetahui siapa orangnya yang mengajarkan ayat-ayat kitab To-tek-keng kepada anak kecil tadi, kita akan merasa heran sekali.
Ternyata bahwa yang membaca ayat-ayat kitab itu adalah seorang tosu berbaju kuning, di pungungnya tergantung sebatang pedang. Tosu ini tinggi kurus berkumis tipis, berusia kurang lebih lima puluh tahun, rambutnya digelung ke atas dan ia menunggang seekor kuda kurus yang berjalan seenaknya dan nampaknya sudah amat lelah.
Di belakang kuda ini berjalan seorang anak laki-laki berusia sepuluh tahun, pakaiannya penuh tambalan, rambutnya diikat ke belakang, mukanya putih agak pucat dan matanya besar. Anak ini amat miskin pakaiannya sampai-sampai bersepatu pun tidak. Di dekat mata kaki kiri ada boroknya sebesar ibu jari kakinya sehingga agak terpincang pincang jalannya. Akan tetapi, biarpun keadaannya begini miskin, anak itu tampaknya gembira terus. Mulutnya menyinarkan cahaya gembira dan nakal.
Ayat-ayat yang dibacakan oleh Tosu di atas tadi adalah ayat ke dua belas. Kalau dihitung tosu itu membaca dari ayat pertama dengan suara keras, akan tetapi lambat-lambat, sudah lama jugalah anak itu menirunya.
Pada ayat ke duabelas dimana terdapat kata-kata tentang orang budiman mengutamakan urusan perut, anak laki-laki itu setelah selesai meniru ayat ini sampai habis, segera berkata. Suaranya lantang, nyaring dan tinggi.
“Totiang, benar sekali orang budiman itu. Aku pun mau menjadi orang budiman, mengutamakan urusan perutku yang sudah amat lapar ini. Maka harap Totiang lekas-lekas memberi roti kering atau uang, aku tidak mau pedulikan urusan lain lagi”
Sambil berkata demikian, anak itu tidak lagi berjalan di belakang kuda, melainkan berlari mendampingi dan menarik-narik kaki kanan tosu itu.
Akan tetapi tosu itu seperti tidak melihat bocah tadi, juga seperti tidak merasa kakinya dibetot-betot. Ia membuka mulutnya lagi dan berteriak dengan suara keras.
“Ayat ke tiga belas berbunyi……………”
“Aku tidak peduli apa bunyi ayat ketiga belas atau ke tiga ribu!” Anak itu berteriak. “Perutku lapar dan Totiang sudah berjanji akan memberi roti kering dan uang kepadaku!”
Tosu itu nampak tertegun, seakan-akan baru sekarang ia tahu bahwa suara yang tadinya menirunya telah mengeluarkan suara lain. Ia menunda membaca kitabnya dan memandang kepada anak itu dengan mata bersinar-sinar.
Tadi ia bertemu dengan anak itu di luar sebuah kampung dekat hutan ini. Pada waktu itu ia sedang beristirahat dan makan roti kering. Lalu datang anak yang dikenalnya ini mendekat, nampaknya ingin sekali akan tetapi tidak mengeluarkan suara.
“Kau mau roti kering?” Anak itu hanya mengangguk.
“Heh-heh-heh, roti keringku sudah habis di warung sana?” Ia bertanya lagi, Kembali anak itu mengganguk,Tosu itu menjadi gemas juga.
“Gagukah engkau?”
“Tidak, Totiang, hanya sedang malas bicara,”
Jawaban ini membuat si tosu menjadi terheran-heran. Baru kali ini ia bertemu dengan seorang anak kecil yang bicara seenaknya sendiri saja seperti ini.
“Engkau mau roti kering dan uang?”
Kembali ia bertanya sambil menunggangi lagi kudanya yang kurus. Anak laki-laki itu kembali mengangguk.
“Baik, akan tetapi kau harus menirukan membaca isi kitab To-tek-keng sambil berjalan di belakang kudaku.”
Demikianlah, tosu itu mulai membaca kitab itu dari ayat pertama sampai ayat ke dua belas. Tadinya anak ini tertarik sekali karena anak ini sebetulnya adalah seorang anak luar biasa yang pernah membaca kitab-kitab kuno bahkan hampir hafal banyak kitab dari agama budha, yaitu ketika ia bekerja sebagai pelayan dari kelenteng Hok-thian-tong, Akan tetapi setelah mendengar tentang “mengutamakan perut”, sehingga anak itu teringat akan perutnya yang lapar dan menagih janji.
Siapakah anak yang bersikap aneh dan terlantar itu? Namanya Beng San, Demikian menurut pengakuannya sendiri, tentang siapa nama keturunannya, ia sendiri tidak tahu, Anak ini adalah korban bencana alam, yaitu banjir besar sungai Huang-ho yang menghabiskan seluruh isi kampungnya.
Hampir seluruh kampung habis oleh banjir itu, rumah-rumah lenyap, sawah-sawah rusak, manusia dan binatang hampir tewas dan hanyut semua. Anak ini pun hanyut akan tetapi agaknya tuhan masih melindunginya maka ia dapat tersangkut pada reruntuhan rumah dan terbawa ke pinggir dalam keadaan pingsan.
Hal ini terjadi ketika ia berusia lima enam tahun. Ketika siuman kembali, anak ini telah berada di pinggir sebuah hutan di tepi sungai Huang-ho. Ia hanya ingat bahwa namanya Beng San, bahwa ayah bundanya hanyut terbawa air bah, akan tetapi tidak ingat lagi apa nama dusun tempat tinggalnya dan dimana letaknya.
Beng san terlunta-lunta dan nasib membawanya sampai ke depan kelenteng Hok-thian-tong di kota Shan-si, ia amat tertarik melihat kelenteng itu, amat suka melihat-lihat lukisan dan patung-patung yang dipahat indah, kemudian ketua kelenteng, seorang hwesio yang beribadah, merasa kasihan dan suka kepadanya dan mulai saat itulah Beng San diterima sebagai seorang kacung atau pelayan.
Para hwesio di kelenteng itu rata-rata memiliki pribudi yang tinggi dan hampir semua tekun mempelajari ayat-ayat suci hwesio mendapat kenyataan bahwa anak yang menjadi pelayan di kelenteng itu selain rajin juga amat cerdas, mereka memberi pelajaran membaca menulis dan demikianlah selama tiga tahun lebih Beng San di “jejali” filsafat-filsafat dan ayat-ayat suci yang amat tinggi. Tentu saja ia hanya menghafal semua inti sarinya.
Jangankan seorang anak kecil seperti dia, menusia dewasa sekalipun kalau mempelajari agama, jarang yang betul-betul dapat, menangkap inti sarinya, apabila mengamalkan perbuatannya sesuai dengan ayat-ayat suci itu.
Setelah berusia sembilan tahun lebih, Beng San mulai tidak betah tinggal di kelenteng. Beberapa kali ia minta berhenti akan tetapi semua hwesio melarangnya dan mereka ini hendak menarik Beng San menjdi seorang calon hwesio.
Beng San tidak suka dan pada suatu malam anak ini lari minggat dari kelenteng itu. Ia hidup terlunta-lunta, terlantar. Hanya bisa makan kalau ada yang menaruh kasihan dan memberi makanan atau memberi sekedar pekerjaan kemudian diberi upah uang atau makan.
Yang amat aneh pada anak ini, ia tidak pernah mau mengeluarkan perkataan minta-minta! Mungkin ia terpengaruh oleh pelajaran para hwesio yang mengharapkan sedekah dari para dermawan, akan tetapi sekali-kali bukan mengemis. Demikian mengapa Beng San juga sama sekali tidak mau minta ketika melihat tosu itu makan roti kering, padahal perutnya lapar bukan main.
Dan siapa adanya tosu itu? Bukan sembarang orang, melainkan seorang bernama Siok Tin Cu. Dia adalah tokoh dari perkumpulan Agama Ngo-lian To kauw (Agama To Lima Teratai) yang berpusat di Ki-lok.
Sebagai tosu tingkat tiga tentu saja ilmu kepandaiannya sudah tinggi sekali. Dan sebagai seorang tokoh Ngo-lian To-kuaw yang mementingkan pelajaran mistik (hoatsut), tentu saja ia terkenal seorang yang amat berbahaya.
Siok Tin Cu bukan mengajak atau memancing Beng San ke dalam hutan itu tanpa maksud tertentu. Begitu melihat anak tadi, ia dapat menduga bahwa anak ini adalah seorang anak yatim piatu, lagi bertulang baik maka tepat sekali kalau hendak dijadikan bahan percobaaan ilmunya. Kalau sampai anak ini tewas sekalipun, tidak ada orang tua kehilangan anaknya, tidak ada orang yang dirugikan maka ia takkan menanggung dosa, demikian jalan pikiran pedeta sesat ini, mari kita kembali ke dalam hutan untuk melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.
Di depan telah diceritakan betapa Beng San tidak lagi meniru teriakan Siok Tin Cu yang membaca ayat-ayat To-Tek-keng, malah berteriak-teriak menagih janji tosu itu untuk memberi roti kering atau uang pembeli roti kepadanya.
Mereka sudah tiba di tengah hutan yang amat sunyi dan liar. Siok Tin Cu tersenyum dan melompat turun dari atas kudanya. Gerakannya demikian ringan seakan-akan tubuhnya seringan bulu saja .
“Bocah, sejak kapan kau belum makan?”
Pertanyaan ini diucapkan dengan halus seakan-akan orang tua ini merasa kasihan dan hendak menolong.
“Sejak dua hari yang lalu,” jawab Beng San singkat, tanpa mengundang suara minta dikasihani.
Tosu itu mengangkat alisnya, lalu tertawa bergelak nampak girang sekali!
”Bagus, bagus, kalau begitu perutmu kosong sama sekali. Hal ini berarti membersihkan hawa didalam tubuhmu dan memperkuat daya tahanmu seperti seorang yang memiliki latihan siulin. Bagus, anak yang baik, nah, kau makanlah ini, hendaklah kulihat sampai dimana kemanjurannya!” Tosu itu mengeluarkan sebuah pil berwarna kuning dan berbau busuk, “Bukalah mulutmu.”
Tentu saja Beng San tidak sudi mentaati perintah ini. Ia mundur selangkah memandang marah dan berkata.
“Totiang, kau berjanji hendak memberi roti kering atau uang, kenapa sekarang menyuruh aku makan obat? Aku tidak sakit dan tidak butuh obat!”
“Heh-heh-heh, kalau sudah makan tidak ada artinya lagi, Eh, bocah, aku Siok Tin Cu bukan seorang bodoh. Ketahuilah, pil ini adalah buatanku atau petunjuk kauwcu (ketua agama). Belasan tahun kubuat dari sari segala kebusukan yang mengundang hawa thai-yang dan khasiatnya hebat bukan main. Aku telah membuatnya tiga buah akan tetapi sampai sekarang tidak berani menelannya, Harus lebih dulu kucobakan orang, kau dengan perutmu kosong baik sekali untuk dijadikan kelinci percobaan! Kalau kau mati, tidak ada orang yang kehilangan, kalau kau hidup…… nah, akan kuberi hadiah roti kering atau uang, Heh-heh-heh!’
Sepanjang mata anak itu yang lebar menjadi makin lebar, bukan karena takut melainkan karena marahnya.
“Tosu bau apa kau lupa akan ujar-ujar suci bahwa, siapa yang belum membersihkan diri dari perbuatan jahat, dan siapa tidak memperdulikan kebajikan dan kebenaran, dia itu tidak patut memakai pakaian kuning?”
Siok Tin Cu mula-mula terkejut dan heran karena ujar-ujar ini adalah kata-kata suci dalam agama buddha (dalam kitab Dhammapade), akan tetapi ia segera tertawa.
“Mau tidak mau kau harus menelan obat ini!”
“Tidak sudi……..! Kau tosu bau!”
Beng San mengambil dua buah batu kecil dari atas tanah dan menimpukkan dua buah batu itu kepada Siok Tin Cu. Akan tetapi Siok Tin Cu hanya tertawa dan sekali ia menggerakkan tangan kiri, ujung lengan bajunya “meniup” pergi dua buah batu itu, membuat Beng San tak dapat bergerak lagi. Yang “mati” ini adalah kedua pasang kaki tangan anak itu, akan tetapi dari leher ke atas masih “hidup” anak itu masih dapat menggerakkan leher dan semua anggauta muka.
“Tosu jahat, tosu bau, kau mau apakan aku?” teriakannya berkali-kali.
Postingan populer dari blog ini
RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 06 JILID 07 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44 JILID 45 JILID 46 JILID 47 JILID 48 JILID 49 JILID 50 JILID 51 JILID 52 JILID 53 JILID 54 JILID 55 JILID 56 JILID 57 JILID 58 JILID 59 JILID 60 JILID 61 JILID 62 JILID 63 JILID 64 JILID 65 JILID 66 JILID 67 JILID 68 JILID 69 JILID 70 JILID 71 JILID 72 JILID 73 JILID 74 JILID 75 JILID 76 JILID 77 JILID 78 JILID 79 JILID 80 JILID 81 JILID 82 JILID 83 JILID 84 JILID 85 JILID 86 JILID 87 JILID 88 JILID 89 JILID 90 JILID 91 JILID 92 JILID 93 JILID 94 JILID 95 JILID 96 JILID 97 JILID 98 JILID 99 JILID 100 JILID 101 J
RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNY JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILI
JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNYA JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILID 090 JILID 091 JILID 092 JILID 093 JILID 094 JILID 095 JILID 096 JILID 097 JILID 098 JILI