JAKA LOLA JILID 057

 la membentak, tubuhnya bagaikan kilat menyambar kearah Lee Si untuk menolong gadis itu. Akan tetapi tiba-tiba dari kanan menyambar tongkat bambu Ang Mo-ko menotok lambung. la cepat menangkis dan melanjutkan gerakannya menolong Lee Si, namun angin menyambar dari kiri dan Swan Bu merasa seakan-akan tubuhnya terdorong oleh tenaga yang amat dahsyat. la terlempar dan sebelum dia sempat bergerak, dua buah lengan panjang Maharsi yang tadi memukulnya telah mencengkeram pundaknya dan menotok jalan darah di punggungnya, membuat dia tak berdaya lagi. Sepasang orang muda itu telah tertawan oleh musuh-musuh besarnya.


“Siapakah dia ini?” 

Maharsi bertanya kepada sumoinya sambil menuding kearah Swan Bu yang sudah rebah miring diatas tanah. Mau tak mau pendeta dari barat itu kagum bukan main karena semuda itu Swan Bu telah memiliki kepandaian yang hebat.

“Suheng,” kata Ang-hwa Nio-nio dengan muka berseri. “Kebetulan sekali kau datang dan kebetulan memang, karena bocah ini bukan lain adalah putera Pendekar Buta. Ular menghampiri penggebuk, bukan?”

“Sudah jelas anak musuh besar, tidak dibunuh tunggu apa lagi?” 

Ouwyang Lam yang merasa iri melihat ketampanan dan kegagahan pemuda itu, jauh melebihi dirinya, cepat mengangkat pedangnya menusuk kearah dada Swan Bu! Pemuda ini maklum bahwa nyawanya berada di ujung pedang lawan, namun karena dia tak dapat menggerakkan kaki tangannya, Swan Bu hanya dapat memandang dengan mata tidak berkedip sedikitpun juga. 

Orang-orang lain yang berada disitu hanya memandangnya sambil tertawa, karena pemuda Liong-thouw-san ini memang anak musuh besar, berarti musuh pula, apalagi sudah mengacaukan usaha mereka di Kong-goan, tidak dibunuh mau diapakan lagi?

“Cringgg…..!?” 

Ouwyang Lam kaget dan melompat mundur. Pedangnya yang hampir menancap di dada Swan Bu telah terbentur pedang lain yang telah menangkisnya sehingga muncrat bunga api saking kerasnya benturan itu. Ketika semua orang memandang, kiranya yang menangkis itu adalah Siu Bi!

“Eh, kau lagi? Bi-moi, terus terang saja, kau sebetulnya berfihak siapa? Ketika di Ching-coa-to kami hendak membunuh puteri Raja Pedang, kaupun menghalangi maksud kami!” kata Ouwyang Lam, penasaran.

Sepasang mata yang tajam bening itu berkilat, 
“Aku berfihak kepada diriku sendiri! Bocah ini adalah anak Pendekar Buta, berarti musuh besarku. Aku sudah bersumpah hendak membuntungi lengan Pendekar Buta, isterinya dan anaknya, membuntungi lengannya hidup-hidup! Kalau dia dibunuh, apa artinya membuntungi lengannya lagi?”

“Tapi….. tapi bukan kau yang merobohkan dia, kau tidak berhak. Kami yang merobohkan dan menawannya, maka kami yang berhak melakukan apa saja terhadap dirinya!”


“Siapa saja yang membunuhnya berarti hendak menghalang-halangi aku untuk balas dendam dan melaksanakan sumpahku. Tentang siapa merobohkan, memang betul kalian yang merobohkan, akan tetapi perempuan ini aku yang merobohkan. Sekarang aku ingin menukarkan dia dengan anak Pendekar Buta ini. Ouwyang-twako, kau boleh ambil dia, biarkan aku membuntungi lengan anak Pendekar Buta tanpa membunuhnya?”

Ouwyang Lam menengok kearah Lee Si yang menggeletak telentang. Dalam keadaan tertotok dan telentang di atas tanah itu dengan pakaian kusut, gadis cantik ini kelihatan menarik sekali, menggairahkan hati Ouwyang Lam yang memang berwatak mata keranjang. Segera mengilar dia ketika pandang matanya menjelajahi tubuh Lee Si dan sambil menyeringai dia berkata, 

“Aku….. aku boleh….. memiliki dia…..?”






Pada saat itu, Bo Wi Sianjin berkata, 
“Eh, Maharsi, bukankah gadis ini cucu Raja Pedang yang pernah kita kejar?”

Maharsi memandang. 
“Aha, betul! Betul dia! Wah, Bhok-losuhu tentu akan girang sekali. Sumoi, benar-benar kita telah mendapatkan tawanan penting. Seorang putera Pendekar Buta, yang seorang lagi cucu Raja Pedang. Baiknya kita jangan bunuh mereka, jadikan tangkapan untuk memaksa musuh-musuh besar itu menyerah!”

“Bagus, itu betul sekali!” seru Bo Wi Sianjin karena baik dia maupun Maharsi sebetulnya masih merasa jerih untuk bertanding melawan Pendekar Buta dan Raja Pedang yang terkenal sakti.


“Suheng, kau tadi menyebut nama Bhok-losuhu? Siapakah yang kau maksudkan?”

Maharsi tertawa ha-ha-hah-he-heh. 
“Siapa lagi kalau bukan Bhok Hwesio itu tokoh besar yang sakti dari Siauw-lim-pai? Diapun sudah siap untuk membasmi Pendekar Buta dan Raja Pedang dan dia datang bersama kami ke Kong-goan, akan tetapi tentu saja tidak mau kesini. Kuharap kau suka rnengunjunginya di kelenteng sebelah timur kota, Sumoi.”

Girang sekali hati Ang-hwa Nio-nio, apalagi setelah ia diperkenalkan dengan Bo Wi Sianjin sebagai sute dari Ka Chong Hoatsu yang menaruh dendam kepada Raja Pedang. Dengan begini banyaknya orang pandai di fihaknya, tentu akan terlaksana idam-idaman hatinya, yaitu menebus kematian dua orang adiknya.

Pada saat itu, dengan tergesa-gesa seorang anggauta Ang-hwa-pai berlari menghampiri Ang-hwa Nio-nio dan meIapor,

”Paicu, seorang yang bernama Tan Kong Bu, kabarnya ketua Min-san-pai, mencari Tan Lee Si yang katanya adalah puterinya, sedang menuju kesini!”

Ang-hwa Nio-nio membelalakkan kedua matanya, lalu tertawa mengikik. 
“Wah-wah, benar-benar malam baik sekali sekarang. Seorang demi seorang anggauta keluarga mereka berdatangan sehingga memudahkan kita untuk nnembasminya. Suheng, aku mempunyai rencana yang bagus sekali. Lam-ji (anak Lam), kau bawa dua orang tawanan kita itu ke dalam kuil, tapi jangan ganggu mereka!” perintahnya kepada Ouwyang Lam. 

Pemuda ini mengangguk tersenyum, lalu membungkuk, memondong tubuh Lee Si dan menyeret tubuh Swan Bu dengan menjambak rambutnya.

“Twako, serahkan anak Pendekar Buta itu kepadaku!” Siu Bi melompat maju. “Aku harus melaksanakan sumpah pembalasanku!”


“Ihhh, Siu Bi. Apakah kau sudah tergila-gila melihat pemuda yang tampan dan gagah itu? Hi-hi-hik!”

Bukan main marahnya hati Siu Bi mendengar ejekan Ang-hwa Nio-nio ini. Mukanya seketika menjadi merah sekali matanya berapi-api, tangannya yang memegang pedang gemetaran. 

“Bibi Kui Ciauw! Aku bukan seperti engkau'”

Ang-hwa Nio-nio juga marah. 
“Siu Bi kuperingatkan kau! Kami tidak butuh bantuanmu. Kalau kau mau bekerja sama dengan kami untuk menghadapi Pendekar Buta silahkan tinggal bersama kami akan tetapi harus menurut apa yang kami rencanakan. Kalau tidak mau, kami tidak akan menahanmu.”

“Nio-nio… Bi-moi….. sudahlah, diantara kita sendiri mengapa mesti ribut-ribut?” 

Ouwyang Lam cepat melerai dengan suara halus, kemudian dia melanjutkan pekerjaannya, memondong Lee Si dan menyeret tubuh Swan Bu dibawa masuk ke dalam kuil. 

Siu Bi merengut hatinya mendongkol sekali. Akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Ia maklum bahwa untuk melawanpun ia akan kalah. Maka tanpa berkata sesuatu ia lalu berjalan pergi dari depan Ang-hwa Nio-nio, menahan isak tangis saking gemasnya.

“Siapakah dia?” Maharsi bertanya.

“Ah, dia…..? Cucu Hek Lojin, juga musuh Pendekar Buta.”

“Hek Lojin? Pantas dia begitu liar, kiranya cucu iblis itu!” kata Bo Wi Sian-jin, mengangguk-angguk. 

Mereka lalu memasuki kuil dan Ang-hwa Nio-nio memberi perintah kepada anak buahnya untuk mengatur rencananya yang dianggap amat baik.

********




  • SELANJUTNYA 

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)