JAKA LOLA JILID 059
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
“Wah, baik sekali hasilnya. Sumoi, kau benar-benar amat cerdik dan licin sekali. Ha-ha-ha, antara keturunan Raja Pedang dan keturunan Pendekar Buta sudah terdapat bentrokan yang agaknya hanya dapat diredakan dengan darah dan nyawa. Bagus sekali, Sumoi!”
Maharsi tertawa memuji-muji sumoinya setelah pada keesokan harinya pagi-pagi mereka berkumpul disebuah hutan tak jauh dari kuil di kota Kong-goan itu. Mereka berkumpul disitu, lengkap seperti kemarin, kecuali Siu Bi. Gadis ini tidak tampak mata hidungnya.
“Ah, Suheng. Kalau tidak sedemikian besar dendamku terhadap mereka, agaknya takkan terpikirkan akal seperti itu olehku. Ketika kau dan Ouwyang Lam memancing Tan Kong Bu menjauhi kuil, sengaja kubebaskan puterinya. Tentu saja gadis itu malu sekali dan tidak ada muka berjumpa dengan ayahnya. Hi-hi-hik, betapapun dia akan membela diri, siapa percaya bahwa dia tidak tercemar oleh putera Pendekar Buta?”
“Tapi dimana adanya Kwa Swan Bu, dan mana pula adik Siu Bi?” tanya Ouwyang Lam.
“Huh, gadis tiada guna itu! Tadinya Swan Bu kusingkirkan dalam keadaan tertotok, tapi kemudian lenyap, tentu dibawa pergi Siu Bi. Gadis tak tahu malu itu kalau tidak tergila-gila kepada pemuda tampan itu, entah mau apa dia…..!”
Diam-diam Ang-hwa Nio-nio merasa iri hati dan cemburu kepada Siu Bi karena agaknya kekasihnya, Ouwyang Lam, tergila-gila kepada gadis Go-bi-san itu, maka kesempatan ini ia pergunakan untuk memaki-maki dan memburukkan nama Siu Bi.
Adapun Ouwyang Lam diam-diam kecewa sekali karena si jelita Lee Si yang diincar-incar dan hendak dijadikan korbannya, telah dibebaskan. Ini belum apa-apa yang menjengkelkan hatinya adalah perginya Siu Bi! la mengomel,
“Ah, Nio-nio terlalu curiga. Terang bahwa adik Siu Bi membawa pergi Kwa Swan Bu untuk melampiaskan dendamnya. Kita lihat saja, tak lama lagi kita akan mendengar bahwa putera Pendekar Buta kehilangan sebelah lengannya.”
“Kalau tidak sudah menjadi bangkai!” kata pula Ang-hwa Nio-nio. “Orang gila dari Min-san itu mengejar-ngejarnya. Aha, alangkah ramainya nanti di Liong-thouw-san. Tentu Raja Pedang akan terseret-seret pula. Dan selagi mereka saling cekcok memperebutkan kebenaran, kita serbu mereka. Suheng, dan Sianjin, mari kita mengunjungi Bhok Lo-suhu!”
Biarpun hatinya mendongkol, Ouwyang Lam tidak dapat bicara apa-apa lagi, hanya didalam hatinya ia mengharapkan kembalinya Siu Bi menggabung kepada rombongan mereka yang makin kuat ini. la percaya bahwa lambat-laun dia pasti akan dapat berhasil memikat hati gadis yang mengguncangkan jantungnya itu.
Dugaan Ang-hwa Nio-nio memang tepat. Ketika terjadi tipu muslihat yang dilakukan oleh Ang-hwa Nio-nio, Siu Bi melihat dengan jelas. Akan tetapi ia tidak ambil pusing, hanya mulutnya tersenyum menghina. la muak dengan cara-cara yang dikerjakan oleh Ang-hwa Nio-nio. Akan tetapi ia selalu mencari kesempatan untuk memuaskan nafsu hatinya sendiri, yaitu membalas kepada Kwa Swan Bu putera Pendekar Buta. Urusan orang lain ia tidak peduli, yang penting ia harus melaksanakan tugas dan sumpahnya.
Ketika orang yang dinanti-nanti, yaitu yang katanya adalah putera Raja Pedang, ketua Min-san-pai bernama Tan Kong Bu ayah Lee Si yang tertawan itu datang, ia kagum juga. Bukan main sepak terjang laki-laki tinggi besar itu. Mengingatkan ia akan kakeknya, Hek Lojin.
Akan tetapi ketika ia melihat laki-laki itu dipancing menjauhi kuil dan melihat Ang-hwa Nio-nio menyeret Swan Bu keluar dan meninggalkannya di belakang kuil untuk membebaskan Lee Si, diam-diam ia menyelinap dan mengempit tubuh Swan Bu, terus dibawa lari cepat sekuatnya meninggalkan tempat itu. Yang lain-lain ia tidak peduli, yang penting baginya hanyalah Kwa Swan Bu, putera Pendekar Buta, musuh besarnya!
Siu Bi maklum bahwa Ang-hwa Nio-nio dan teman-temannya adalah orang-orang yang amat sakti, bukan lawannya dan ia akan terpaksa menyerahkan Swan Bu kembali malah ia sendiri mungkin tak bebas daripada hukuman apabila mereka dapat menyusulnya.
Oleh karena inilah maka gadis itu terus lari secepatnya, menyusup-nyusup ke dalam hutan dan tidak pernah berhenti sampai malam berganti pagi. Akhirnya ia tidak kuat lari lagi dan didalam sebuah hutan kecil ia berhenti, terengah-engah lalu melenpar tubuh Swan Bu keatas tanah.
Siu Bi berdiri mengatur napas, menyusut keringat di leher dan jidatnya dengan saputangan, memandang sekilas kearah pemuda yang terbanting keatas tanah itu. la melihat pemuda itu bergerak perlahan, menggerak-gerakkan lengan dan kaki, agaknya sudah terbebas daripada totokan, lalu mencoba untuk bangun dan duduk.
Siu Bi kaget sekali, teringat betapa lihainya pemuda ini dan kalau sudah pulih tenaganya, tentu sukar baginya untuk mengalahkannya. Cepat ia menerjang maju, tangannya bergerak dan Swan Bu yang tahu bahwa dia diserang, tak dapat menangkis atau mengelak, karena jalan darahnya belum pulih seluruhnya. Kembali dia roboh dan tak berkutik karena jalan darahnya yang membuat dia lemas telah ditotok oleh gadis galak itu. Setelah merasa yakin bahwa lawannya takkan mampu bergerak, Siu Bi yang merasa kedua kakinya berdenyut-denyut linu dan lelah sekali, menjatuhkan diri duduk diatas tanah berumput, melanjutkan usahanya menghapus keringatnya.
Kemudian ia mengebut-ngebut saputangan dipakai mengipasi lehernya sambil menatap wajah di depan kakinya itu. Wajah seorang pemuda yang amat tampan dan gagah, alis yang hitam tebal berbentuk golok, sepasang mata yang penuh ketabahan! Kebetulan sekali Swan Bu juga memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu pandang, penuh amarah, saling serang dan akhirnya Siu Bi yang menunduk lebih dulu.
“Perlu apa kau melarikan diriku kesini ?” tanya Swan Bu, suaranya tenang akan tetapi agak ketus.
“Perlu apa lagi? Membuntungi lengan kirimu untuk membalas sakit hati mendiang kakekku!”
Swan Bu terdiam, memutar otak. Namun dia tidak melihat jalan keluar untuk menolong dirinya. Gadis ini wataknya keras dan aneh, liar dan ganas. Betapapun juga, kalau gadis ini tidak menculiknya kesini mungkin jiwanya terancam bahaya. Bahaya yang mengerikan. la bukan takut mati, akan tetapi mati di tangan paman Tan Kong Bu dengan tuduhan melakukan tindakan maksiat, berjina dengan Lee Si, sungguh merupakan kematian yang amat pahit dan penasaran.
Betapapun juga, jika direnungkan benar-benar, gadis liar ini sudah menolongnya, menolong kehormatannya, karena biarpun dia akan dibuntungi lengan kirinya, namun dia tidak mati dan selama dia masih hidup dia akan dapat membersihkan namanya, akan dapat membuktikan kepada pamannya, Tan Kong Bu, bahwa dia sama sekali tidaklah berbuat jina dengan puteri pamannya itu. Juga, biarpun lengannya tinggal sebuah, dia masih akan mendapat kesempatan membalas kepada Ang-hwa Nio-nio dan kawan-kawannya yang telah membuat fitnah keji terhadap dirinya dan Lee Si itu.
“Huh, wajahmu pucat! Kau takut, ya? Ngeri mengingat lengan kirimu akan buntung? Ya, akan kubuntungi lengan kirimu, biar tahu rasa, biar kau merasakan bagaimana sengsaranya kakekku setelah lengan kirinya dibuntungi ayahmu. Dan setelah kau, ayah dan ibumu akan menerima gilirannya!”
“Hemmm, kau ini bocah bermulut besar, sombong dan tak tahu malu. Membuntungi lenganku saja kalau tidak secara pengecut, tidak akan becus kau lakukan. Macam kau hendak membuntungi lengan ayah ibuku? Hah, cacing tanahpun akan terbahak geli rnendengar kata-katamu tadi!”
Tadinya Siu Bi mengira bahwa Swan Bu merasa ngeri dan ketakutan. Hatinya sudah merasa girang karena ia mendapat kesempatan untuk mengejek. Kiranya sekarang malah ucapan pemuda itu bagaikan api membakar dadanya, membuat ia melompat bangun, berdiri dengan mata mendelik, muka berwarna merah padam, hidungnya kembang-kempis.
“Nah, marahlah! Hayo, keluarkan kegagahanmu, marah sekuatmu kemudian coba kau bebaskan aku kalau berani! Kalau aku bebas, boleh kau coba untuk membuntungi lenganku, hendak kulihat kau becus atau tidak. Hemmm, biar kau memegang pedang setan hitam itu, aku bertangan kosong saja menghadapimu bukan lenganku yang buntung, melainkan….. hemmm hidungmu yang kembang-kempis itu yang akan kucabut copot dari mukamu!”
Dapat dibayangkan betapa memuncak kemarahan Siu Bi mendengar ejekan yang dianggapnya penghinaan hebat ini. la membanting-banting kakinya dan hampir menangis ketika pedangnya berkelebatan di depan muka Swan Bu dan tangannya menuding-nuding, bibirnya komat-kamit meneriakkan maki-makian yang tidak keluar dari mulut.
“Kau….. kau setan, kau….. kau….. manusia sombong. Hihhh, lehermu yang akan kubuntungi, bukan lenganmu. Dengar? Lehermu akan kupenggal dengan pedang ini!”
Namun Swan Bu adalah putera tunggal Kwa Kun Hong, seorang yang biarpun masih muda namun memiliki dasar satria yang tidak takut mati. Selain ini diapun keras hati dan tidak sudi tunduk jika merasa dirinya benar. Mendengar ancaman dan melihat pedang berkelebatan di dekat lehernya itu, dia malah tertawa, tertawa nyaring.
“He?!”
Siu Bi menahari gerakan pedangnya dan memandang heran. Memang sama sekali ia tidak mengira, orang yang sudah hampir dipenggal lehernya dapat tertawa segembira itu!
“Wah, kau sudah miring otak, ya? Kau sudah menjadi gila saking takut, ya?”
“Perempuan liar, kaulah yang gila. Kau boleh mengeluarkan semua ancaman, seperti kebiasaan setan-setan dan iblis, akan tetapi seorang gagah tidak takut mati. Aku paling ngeri kalau menjadi pengecut, lebih baik mati daripada menjadi pengecut macam kau ini. Berani menjual lagak hanya kepada orang yang sudah tidak mampu melawan. Huh, beri aku kesempatan untuk melawanmu, baru kau tahu rasa, baru akan terbuka matamu bahwa kau harus belajar lima puluh tahun lagi sampai menjadi nenek-nenek kempot keriput baru boleh menandingi aku! Mau bunuh, hayo bunuhlah. Sabetkan pedangmu dengan tanganmu yang curang itu ke leherku, siapa takut?”
Siu Bi tertegun. Kali ini bukan karena marahnya melainkan karena heran dan kagumnya. Belum pernah selama hidupnya ia melihat orang begini tabah, begini tenang dan penuh keberanian menghadapi kematian. Hampir ia tidak dapat percaya. Mungkin hanya aksi belaka, pikirnya. Kalau sudah diberi rasa sakit, tentu akan menguik-nguik minta arnpun seperti anjing dipecuti.
“Kau betul tidak takut mampus? Nah, rasakan ini!”
Pedangnya digerakkan, perlahan-lahan kearah leher Swan Bu sambil menatap tajam wajah tampan itu. la melihat betapa wajah itu tetap tenang, sepasang mata tajam itu memandang penuh tantangan, berkedippun tidak, sampai ujung pedangnya menggores kulit pundak yang telanjang itu dan kulit pecah darah merah mengucur. Namun wajah itu tetap tenang, bibir itu tetap dalam senyum mengejek dan mata menantang, berkedippun tidak! Bukan main!
“Hayo, kenapa berhenti? Bukan aku yang takut mampus, kaulah yang takut melanjutkan perbuatanmu yang curang dan pengecut!”
Pucat wajah Siu Bi mendengar ini.
“Setan kau!” Pedangnya kembali diangkat dan kini agak cepat menyambar.
“Crattt!”
Pedang itu menancap pada pundak beberapa senti meter saja dalamnya karena segera ditahannya, ketika dicabut, darah mengucur banyak. Tapi tetap saja wajah Swan Bu tidak berubah, matanya tidak berkedip, senyumnya makin mengejek.
“Nah, kembali kau tidak berani. Melawanku dengan pedang kulawan dengan tangan kosongpun tidak berani. Huh, kau pengecut kepalang tanggung!”
Siu Bi menggigit bibirnya.
“Sombong! Kau kira aku tidak tahu akan akal bulusmu? Kau sengaja memanas-manasi hatiku, sengaja membakarku agar aku menjadi panas hati dan membebaskanmu. Huh, siapa yang tidak tahu bahwa kau lihai dan kalau dibanding aku takkan menang? Tapi jangan kira aku sebodoh itu, aku tidak dapat kau pancing! Padahal kalau betul-betul kau bertangan kosong melawan aku bersenjata pedang, dalam belasan jurus saja kau pasti akan roboh. Kau sengaja membuka mulut besar, kalau sudah kubebaskan dari totokan, kau tentu melarikan diri dan aku tidak dapat mengejarmu, sampai kau mendapatkan senjata dan melawanku. Bukankah begitu akalmu, Bulus?”
Diam-diam Swan Bu mengeluh. Cerdik betul bocah ini. Tidak ada gunanya menipu gadis seperti ini. Akan tetapi memang ucapannya tadi bukan semata-mata hendak mengejek dan memancing agar dibebaskan, melainkan betul-betul keluar dari perasaannya yang penasaran dan marah.
“Bocah tak perlu menjual lagak. Kau pintar atau goblok bukan urusanku, yang terang kau pengecut. Aku seorang laki-laki sejati, ayahku Pendekar Buta terkenal di kolong jagat sebagai seorang pendekar besar. Menyelamatkan diri dengan jalan menipu, apalagi menipu seorang bocah masih ingusan macam engkau, bukanlah perbuatan orang gagah. Kau mau melihat bukti bahwa aku dapat mengalahkan engkau yang berpedang dengan tangan kosong? Bebaskan aku, akan kubuktikan. Aku tidak akan lari, kalau sudah membuktikan omonganku, boleh kau tawan aku lagi, aku takkan melawan.”
“Huh, siapa percaya omonganmu?”
Siu Bi mencibirkan bibirnya yang merah dan Swan Bu mengerutkan alisnya. Terlalu cantik manis dara liar ini kalau sudah menjebi seperti itu.
Maharsi tertawa memuji-muji sumoinya setelah pada keesokan harinya pagi-pagi mereka berkumpul disebuah hutan tak jauh dari kuil di kota Kong-goan itu. Mereka berkumpul disitu, lengkap seperti kemarin, kecuali Siu Bi. Gadis ini tidak tampak mata hidungnya.
“Ah, Suheng. Kalau tidak sedemikian besar dendamku terhadap mereka, agaknya takkan terpikirkan akal seperti itu olehku. Ketika kau dan Ouwyang Lam memancing Tan Kong Bu menjauhi kuil, sengaja kubebaskan puterinya. Tentu saja gadis itu malu sekali dan tidak ada muka berjumpa dengan ayahnya. Hi-hi-hik, betapapun dia akan membela diri, siapa percaya bahwa dia tidak tercemar oleh putera Pendekar Buta?”
“Tapi dimana adanya Kwa Swan Bu, dan mana pula adik Siu Bi?” tanya Ouwyang Lam.
“Huh, gadis tiada guna itu! Tadinya Swan Bu kusingkirkan dalam keadaan tertotok, tapi kemudian lenyap, tentu dibawa pergi Siu Bi. Gadis tak tahu malu itu kalau tidak tergila-gila kepada pemuda tampan itu, entah mau apa dia…..!”
Diam-diam Ang-hwa Nio-nio merasa iri hati dan cemburu kepada Siu Bi karena agaknya kekasihnya, Ouwyang Lam, tergila-gila kepada gadis Go-bi-san itu, maka kesempatan ini ia pergunakan untuk memaki-maki dan memburukkan nama Siu Bi.
Adapun Ouwyang Lam diam-diam kecewa sekali karena si jelita Lee Si yang diincar-incar dan hendak dijadikan korbannya, telah dibebaskan. Ini belum apa-apa yang menjengkelkan hatinya adalah perginya Siu Bi! la mengomel,
“Ah, Nio-nio terlalu curiga. Terang bahwa adik Siu Bi membawa pergi Kwa Swan Bu untuk melampiaskan dendamnya. Kita lihat saja, tak lama lagi kita akan mendengar bahwa putera Pendekar Buta kehilangan sebelah lengannya.”
“Kalau tidak sudah menjadi bangkai!” kata pula Ang-hwa Nio-nio. “Orang gila dari Min-san itu mengejar-ngejarnya. Aha, alangkah ramainya nanti di Liong-thouw-san. Tentu Raja Pedang akan terseret-seret pula. Dan selagi mereka saling cekcok memperebutkan kebenaran, kita serbu mereka. Suheng, dan Sianjin, mari kita mengunjungi Bhok Lo-suhu!”
Biarpun hatinya mendongkol, Ouwyang Lam tidak dapat bicara apa-apa lagi, hanya didalam hatinya ia mengharapkan kembalinya Siu Bi menggabung kepada rombongan mereka yang makin kuat ini. la percaya bahwa lambat-laun dia pasti akan dapat berhasil memikat hati gadis yang mengguncangkan jantungnya itu.
Dugaan Ang-hwa Nio-nio memang tepat. Ketika terjadi tipu muslihat yang dilakukan oleh Ang-hwa Nio-nio, Siu Bi melihat dengan jelas. Akan tetapi ia tidak ambil pusing, hanya mulutnya tersenyum menghina. la muak dengan cara-cara yang dikerjakan oleh Ang-hwa Nio-nio. Akan tetapi ia selalu mencari kesempatan untuk memuaskan nafsu hatinya sendiri, yaitu membalas kepada Kwa Swan Bu putera Pendekar Buta. Urusan orang lain ia tidak peduli, yang penting ia harus melaksanakan tugas dan sumpahnya.
Ketika orang yang dinanti-nanti, yaitu yang katanya adalah putera Raja Pedang, ketua Min-san-pai bernama Tan Kong Bu ayah Lee Si yang tertawan itu datang, ia kagum juga. Bukan main sepak terjang laki-laki tinggi besar itu. Mengingatkan ia akan kakeknya, Hek Lojin.
Akan tetapi ketika ia melihat laki-laki itu dipancing menjauhi kuil dan melihat Ang-hwa Nio-nio menyeret Swan Bu keluar dan meninggalkannya di belakang kuil untuk membebaskan Lee Si, diam-diam ia menyelinap dan mengempit tubuh Swan Bu, terus dibawa lari cepat sekuatnya meninggalkan tempat itu. Yang lain-lain ia tidak peduli, yang penting baginya hanyalah Kwa Swan Bu, putera Pendekar Buta, musuh besarnya!
Siu Bi maklum bahwa Ang-hwa Nio-nio dan teman-temannya adalah orang-orang yang amat sakti, bukan lawannya dan ia akan terpaksa menyerahkan Swan Bu kembali malah ia sendiri mungkin tak bebas daripada hukuman apabila mereka dapat menyusulnya.
Oleh karena inilah maka gadis itu terus lari secepatnya, menyusup-nyusup ke dalam hutan dan tidak pernah berhenti sampai malam berganti pagi. Akhirnya ia tidak kuat lari lagi dan didalam sebuah hutan kecil ia berhenti, terengah-engah lalu melenpar tubuh Swan Bu keatas tanah.
Siu Bi berdiri mengatur napas, menyusut keringat di leher dan jidatnya dengan saputangan, memandang sekilas kearah pemuda yang terbanting keatas tanah itu. la melihat pemuda itu bergerak perlahan, menggerak-gerakkan lengan dan kaki, agaknya sudah terbebas daripada totokan, lalu mencoba untuk bangun dan duduk.
Siu Bi kaget sekali, teringat betapa lihainya pemuda ini dan kalau sudah pulih tenaganya, tentu sukar baginya untuk mengalahkannya. Cepat ia menerjang maju, tangannya bergerak dan Swan Bu yang tahu bahwa dia diserang, tak dapat menangkis atau mengelak, karena jalan darahnya belum pulih seluruhnya. Kembali dia roboh dan tak berkutik karena jalan darahnya yang membuat dia lemas telah ditotok oleh gadis galak itu. Setelah merasa yakin bahwa lawannya takkan mampu bergerak, Siu Bi yang merasa kedua kakinya berdenyut-denyut linu dan lelah sekali, menjatuhkan diri duduk diatas tanah berumput, melanjutkan usahanya menghapus keringatnya.
Kemudian ia mengebut-ngebut saputangan dipakai mengipasi lehernya sambil menatap wajah di depan kakinya itu. Wajah seorang pemuda yang amat tampan dan gagah, alis yang hitam tebal berbentuk golok, sepasang mata yang penuh ketabahan! Kebetulan sekali Swan Bu juga memandang kepadanya. Dua pasang mata bertemu pandang, penuh amarah, saling serang dan akhirnya Siu Bi yang menunduk lebih dulu.
“Perlu apa kau melarikan diriku kesini ?” tanya Swan Bu, suaranya tenang akan tetapi agak ketus.
“Perlu apa lagi? Membuntungi lengan kirimu untuk membalas sakit hati mendiang kakekku!”
Swan Bu terdiam, memutar otak. Namun dia tidak melihat jalan keluar untuk menolong dirinya. Gadis ini wataknya keras dan aneh, liar dan ganas. Betapapun juga, kalau gadis ini tidak menculiknya kesini mungkin jiwanya terancam bahaya. Bahaya yang mengerikan. la bukan takut mati, akan tetapi mati di tangan paman Tan Kong Bu dengan tuduhan melakukan tindakan maksiat, berjina dengan Lee Si, sungguh merupakan kematian yang amat pahit dan penasaran.
Betapapun juga, jika direnungkan benar-benar, gadis liar ini sudah menolongnya, menolong kehormatannya, karena biarpun dia akan dibuntungi lengan kirinya, namun dia tidak mati dan selama dia masih hidup dia akan dapat membersihkan namanya, akan dapat membuktikan kepada pamannya, Tan Kong Bu, bahwa dia sama sekali tidaklah berbuat jina dengan puteri pamannya itu. Juga, biarpun lengannya tinggal sebuah, dia masih akan mendapat kesempatan membalas kepada Ang-hwa Nio-nio dan kawan-kawannya yang telah membuat fitnah keji terhadap dirinya dan Lee Si itu.
“Huh, wajahmu pucat! Kau takut, ya? Ngeri mengingat lengan kirimu akan buntung? Ya, akan kubuntungi lengan kirimu, biar tahu rasa, biar kau merasakan bagaimana sengsaranya kakekku setelah lengan kirinya dibuntungi ayahmu. Dan setelah kau, ayah dan ibumu akan menerima gilirannya!”
“Hemmm, kau ini bocah bermulut besar, sombong dan tak tahu malu. Membuntungi lenganku saja kalau tidak secara pengecut, tidak akan becus kau lakukan. Macam kau hendak membuntungi lengan ayah ibuku? Hah, cacing tanahpun akan terbahak geli rnendengar kata-katamu tadi!”
Tadinya Siu Bi mengira bahwa Swan Bu merasa ngeri dan ketakutan. Hatinya sudah merasa girang karena ia mendapat kesempatan untuk mengejek. Kiranya sekarang malah ucapan pemuda itu bagaikan api membakar dadanya, membuat ia melompat bangun, berdiri dengan mata mendelik, muka berwarna merah padam, hidungnya kembang-kempis.
“Nah, marahlah! Hayo, keluarkan kegagahanmu, marah sekuatmu kemudian coba kau bebaskan aku kalau berani! Kalau aku bebas, boleh kau coba untuk membuntungi lenganku, hendak kulihat kau becus atau tidak. Hemmm, biar kau memegang pedang setan hitam itu, aku bertangan kosong saja menghadapimu bukan lenganku yang buntung, melainkan….. hemmm hidungmu yang kembang-kempis itu yang akan kucabut copot dari mukamu!”
Dapat dibayangkan betapa memuncak kemarahan Siu Bi mendengar ejekan yang dianggapnya penghinaan hebat ini. la membanting-banting kakinya dan hampir menangis ketika pedangnya berkelebatan di depan muka Swan Bu dan tangannya menuding-nuding, bibirnya komat-kamit meneriakkan maki-makian yang tidak keluar dari mulut.
“Kau….. kau setan, kau….. kau….. manusia sombong. Hihhh, lehermu yang akan kubuntungi, bukan lenganmu. Dengar? Lehermu akan kupenggal dengan pedang ini!”
Namun Swan Bu adalah putera tunggal Kwa Kun Hong, seorang yang biarpun masih muda namun memiliki dasar satria yang tidak takut mati. Selain ini diapun keras hati dan tidak sudi tunduk jika merasa dirinya benar. Mendengar ancaman dan melihat pedang berkelebatan di dekat lehernya itu, dia malah tertawa, tertawa nyaring.
“He?!”
Siu Bi menahari gerakan pedangnya dan memandang heran. Memang sama sekali ia tidak mengira, orang yang sudah hampir dipenggal lehernya dapat tertawa segembira itu!
“Wah, kau sudah miring otak, ya? Kau sudah menjadi gila saking takut, ya?”
“Perempuan liar, kaulah yang gila. Kau boleh mengeluarkan semua ancaman, seperti kebiasaan setan-setan dan iblis, akan tetapi seorang gagah tidak takut mati. Aku paling ngeri kalau menjadi pengecut, lebih baik mati daripada menjadi pengecut macam kau ini. Berani menjual lagak hanya kepada orang yang sudah tidak mampu melawan. Huh, beri aku kesempatan untuk melawanmu, baru kau tahu rasa, baru akan terbuka matamu bahwa kau harus belajar lima puluh tahun lagi sampai menjadi nenek-nenek kempot keriput baru boleh menandingi aku! Mau bunuh, hayo bunuhlah. Sabetkan pedangmu dengan tanganmu yang curang itu ke leherku, siapa takut?”
Siu Bi tertegun. Kali ini bukan karena marahnya melainkan karena heran dan kagumnya. Belum pernah selama hidupnya ia melihat orang begini tabah, begini tenang dan penuh keberanian menghadapi kematian. Hampir ia tidak dapat percaya. Mungkin hanya aksi belaka, pikirnya. Kalau sudah diberi rasa sakit, tentu akan menguik-nguik minta arnpun seperti anjing dipecuti.
“Kau betul tidak takut mampus? Nah, rasakan ini!”
Pedangnya digerakkan, perlahan-lahan kearah leher Swan Bu sambil menatap tajam wajah tampan itu. la melihat betapa wajah itu tetap tenang, sepasang mata tajam itu memandang penuh tantangan, berkedippun tidak, sampai ujung pedangnya menggores kulit pundak yang telanjang itu dan kulit pecah darah merah mengucur. Namun wajah itu tetap tenang, bibir itu tetap dalam senyum mengejek dan mata menantang, berkedippun tidak! Bukan main!
“Hayo, kenapa berhenti? Bukan aku yang takut mampus, kaulah yang takut melanjutkan perbuatanmu yang curang dan pengecut!”
Pucat wajah Siu Bi mendengar ini.
“Setan kau!” Pedangnya kembali diangkat dan kini agak cepat menyambar.
“Crattt!”
Pedang itu menancap pada pundak beberapa senti meter saja dalamnya karena segera ditahannya, ketika dicabut, darah mengucur banyak. Tapi tetap saja wajah Swan Bu tidak berubah, matanya tidak berkedip, senyumnya makin mengejek.
“Nah, kembali kau tidak berani. Melawanku dengan pedang kulawan dengan tangan kosongpun tidak berani. Huh, kau pengecut kepalang tanggung!”
Siu Bi menggigit bibirnya.
“Sombong! Kau kira aku tidak tahu akan akal bulusmu? Kau sengaja memanas-manasi hatiku, sengaja membakarku agar aku menjadi panas hati dan membebaskanmu. Huh, siapa yang tidak tahu bahwa kau lihai dan kalau dibanding aku takkan menang? Tapi jangan kira aku sebodoh itu, aku tidak dapat kau pancing! Padahal kalau betul-betul kau bertangan kosong melawan aku bersenjata pedang, dalam belasan jurus saja kau pasti akan roboh. Kau sengaja membuka mulut besar, kalau sudah kubebaskan dari totokan, kau tentu melarikan diri dan aku tidak dapat mengejarmu, sampai kau mendapatkan senjata dan melawanku. Bukankah begitu akalmu, Bulus?”
Diam-diam Swan Bu mengeluh. Cerdik betul bocah ini. Tidak ada gunanya menipu gadis seperti ini. Akan tetapi memang ucapannya tadi bukan semata-mata hendak mengejek dan memancing agar dibebaskan, melainkan betul-betul keluar dari perasaannya yang penasaran dan marah.
“Bocah tak perlu menjual lagak. Kau pintar atau goblok bukan urusanku, yang terang kau pengecut. Aku seorang laki-laki sejati, ayahku Pendekar Buta terkenal di kolong jagat sebagai seorang pendekar besar. Menyelamatkan diri dengan jalan menipu, apalagi menipu seorang bocah masih ingusan macam engkau, bukanlah perbuatan orang gagah. Kau mau melihat bukti bahwa aku dapat mengalahkan engkau yang berpedang dengan tangan kosong? Bebaskan aku, akan kubuktikan. Aku tidak akan lari, kalau sudah membuktikan omonganku, boleh kau tawan aku lagi, aku takkan melawan.”
“Huh, siapa percaya omonganmu?”
Siu Bi mencibirkan bibirnya yang merah dan Swan Bu mengerutkan alisnya. Terlalu cantik manis dara liar ini kalau sudah menjebi seperti itu.
Postingan populer dari blog ini
RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 06 JILID 07 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44 JILID 45 JILID 46 JILID 47 JILID 48 JILID 49 JILID 50 JILID 51 JILID 52 JILID 53 JILID 54 JILID 55 JILID 56 JILID 57 JILID 58 JILID 59 JILID 60 JILID 61 JILID 62 JILID 63 JILID 64 JILID 65 JILID 66 JILID 67 JILID 68 JILID 69 JILID 70 JILID 71 JILID 72 JILID 73 JILID 74 JILID 75 JILID 76 JILID 77 JILID 78 JILID 79 JILID 80 JILID 81 JILID 82 JILID 83 JILID 84 JILID 85 JILID 86 JILID 87 JILID 88 JILID 89 JILID 90 JILID 91 JILID 92 JILID 93 JILID 94 JILID 95 JILID 96 JILID 97 JILID 98 JILID 99 JILID 100 JILID 101 J
RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNY JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILI
JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNYA JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILID 090 JILID 091 JILID 092 JILID 093 JILID 094 JILID 095 JILID 096 JILID 097 JILID 098 JILI