JAKA LOLA JILID 099

 Dalam kagetnya jago tua Jepang yang sudah banyak pengalamannya itu dapat menduga bahwa pemuda ini memiliki tenaga dalam dari orang-orang daratan yang memang amat luar biasa, maka secepat kilat dia mengubah getaran tenaganya, kini jari-jarinya tidak mencengkeram untuk meremuk lagi melainkan mencengkeram erat-erat lalu dia mengerahkan tenaga perut untuk mendongkel dan melontarkan lawannya dengan gerak tipu dalam Ilmu Yiu-jiu-su. 


Kakinya menjegal dan tangannya yang satu mendorong yang lain menyentak kuat. Namun, orang yang disentaknya tidak bergeming sama sekali. Hal ini tidak mengherankan oleh karena Yo Wan sudah pula mengganti tenaga dalamnya, kini dia mengerahkan tenaga Selaksa Kati yang disalurkan kearah kedua kaki dan berdiri dengan kuda-kuda Siang-kak-jip-te (Sepasang Kaki Berakar di Tanah), Jangankan baru seorang Sakisoto, biar kedua kaki itu ditarik oleh lima ekor kuda kiranya belum tentu akan dapat terangkat!

Mulut jago tua Jepang itu mengeluarkan suara ah-ah-uh-uh-uh, ketika dia beberapa kali mengganti kedudukan dan jurus untuk berusaha mengangkat kaki lawan untuk terus dilontarkan diatas pundak dan dibanting remuk. Keringatnya sudah memenuhi muka, otot-ototnya menonjol keluar, napasnya terengah-engah, namun hasilnya sia-sia belaka. 

Pemuda yang kurus itu masih berdiri tegak dengan senyum manis, sedikitpun tidak kelihatan mengerahkan tenaga. Hal ini selain membuat Sakisoto merasa penasaran, juga membuatnya menjadi malu dan marah sekali.

“Mampus kau!” bentaknya dan secepat kilat kedua tangannya melepaskan cengkeraman pada lengan dan pundak, kini berganti dengan serangan memukul dengan telapak tangan dimiringkan. 

Tangan kanan memukul leher dan tangan kiri memukul lambung! Jangan dipandang ringan serangan ini karena kedua tangan itu sudah terlatih, ampuh sekali. Kepala orang bisa remuk terpukul oleh tangan miring ini, apalagi tempat-tempat gawat macam leher dan lambung. Sekali pukul tentu nyawa akan melayang!

Mendengar menyambarnya hawa pukulan, Yo Wan maklum bahwa serangan ini cukup berbahaya. Cepat dia menyambar dengan kedua tangannya, jauh lebih cepat daripada datangnya pukulan. Tahu-tahu kedua pergelangan tangan jago tua itu sudah dia tangkap dan seketika bagaikan dilolosi semua urat syaraf dalam tubuh Sakisoto. 

Tiba-tiba Yo Wan berseru keras dan tubuh pendek tegap itu melayang keatas dan terbang sampai sepuluh meter jauhnya. Namun, begitu dilepaskan, jago tua yang sudah berpengalaman ini dapat menggerakkan tubuhnya sehingga ketika terbanting kebawah, dia dapat mendahulukan daging belakangnya, sehingga hanya terdengar suara berdebuk, tubuhnya membal keatas dan dia turun lagi dalam keadaan berdiri dan mulutnya meringis karena daging tua di belakang pantatnya terasa kesemutan dan sakit! Kemarahannya memuncak dan dengan kerongkongan mengeluarkan gerengan seperti beruang, dia menubruk maju, didahului pedang samurainya yang panjang dan besar.

Yo Wan cepat miringkan tubuh, membiarkan sinar berkelebat pedang panjang itu lewat, jari tangannya bekerja dan dilain saat sekali lagi tubuh Sakisoto terguling, kali ini jatuh tersungkur tak mampu bangkit untuk beberapa menit lamanya karena jari-jari tangan Yo Wan telah berhasil menyentil sambungan tulang pundak kanan dan menotok jalan darah di punggung kiri! Jago tua Jepang itu hanya mampu mengulet dan merintih perlahan.

Kalau tadi sepasang mata Yosiko berapi-api marah, kini mulai bersinar penuh kekaguman. Dua orang jagonya dirobohkan demikian mudahhya. Bukan main pemuda sederhana ini. Mungkinkah ada pemuda yang lebih pandai daripada jago tampan dari Lu-liang-pai? Diam-diam dia melirik kearah Hwat Ki yang masih pingsan di dekat sumoinya, di sudut ruangan. Kemudian dia memberi tanda dan para pelayan datang membangunkan Sakisoto dan mengangkatnya keluar dari ruangan itu.

Yo Wan tersenyum menghadapi Yosiko. 
“Bagaimana? Cukupkah?”

“Hemmm, setelah kau mampu merobohkan dua orang pembantuku kau mau apa?”

“Tidak apa-apa, hanya minta supaya kau bebaskan kedua orang muda dari Lu-liang-san itu, kemudian gulung tikar dan kembali ke Jepang, jangan lagi kau atau anak buahmu mengganggu pantai dan perairan Po-hai.”

“Peduli apa dengan kau? Kau murid siapa? Dari partai apa?”






“Heran sekali. Kau masih tanya peduli apa denganku? Tentu saja aku tidak bisa membiarkan kau mengganggu keamanan wilayah ini, mengacau ketenteraman hidup bangsaku. Soal aku murid siapa, tidak ada sangkut-pautnya denganmu dan aku tidak punya partai. Nona, kulihat kepandaianmu lumayan, mengapa kau memilih jalan sesat? Mengapa kau mendirikan perkumpulan bajak laut Kipas Hitam? Sayang sekali, kau lihai dan sepatutnya kau menjadi seorang pendekar wanita yang cantik, gagah, dan terhormat, berguna bagi bangsamu di Jepang…”

“Tutup mulutmu yang lancang!” 

Yosiko berteriak nyaring dan kini penyamarannya gagal karena setelah ia marah-marah, sepasang pipinya menjadi kemerahan, merah jambu yang hanya dapat timbul pada pipi seorang gadis, dan teriakannyapun teriakan marah seorang gadis, tidak lagi suara berat pria seperti yang ia tirukan dalam percakapan biasa. 

“Kau begini sombong! Apa kau kira aku takut padamu? Kami belum kalah. Gak-lopek, harap kau beri hajaran bocah sombong ini!”.

Kakek ketiga yang gendut perutnya melompat maju. Gerakannya perlahan dan lambat saja, seakan-akan dia terlalu malas untuk bergerak, apalagi main silat, patutnya orang ini bertiduran diatas kursi malas sambil mengisap huncwe (pipa tembakau) dengan mata meram melek. 

Akan tetapi Yo Wan cukup waspada dan dia maklum bahwa diantara tiga orang kakek tadi, si gendut inilah yang paling lihai. Wajahnya yang agak pucat kekuningan, kedua lengannya yang tidak kelihatan ada otot menonjol, langkahnya yang tenang dan kelihatan berat serta seakan-akan kakinya menempel dan lengket pada lantai yang diinjaknya, semua ini menandakan bahwa dia seorang ahli Iweekeh (ahli tenaga dalam) yang kuat. 

Diam-diam Yo Wan lalu mengumpulkan hawa murni di dalam pusarnya, lalu mendesaknya ke seluruh bagian tubuh, terutama kepada kedua lengannya untuk berjaga-jaga. Pemuda ini mendapat gemblengan tenaga dalam dari dua orang sakti, yaitu Sin-eng-cu dan Bhewakala, apalagi latihan tenaga dalam ini dia sempurnakan dengan tekun di pertapaan Bhewakala, yaitu di Pegunungan Himalaya. Oleh pendeta sakti ini, Yo Wan digembleng hebat, malah sudah mengalami gemblengan terakhir yang amat berat, bahkan yang dilakukan dengan taruhan nyawa, yaitu kalau tidak tahan dapat mati seketika. Latihan ini adalah latihan bersamadhi mengumpulkan sinkang dan memutar-mutar hawa murni ke seluruh tubuh dengan cara bertapa telanjang bulat selama tujuh hari di bawah hujan salju di puncak gunung. Kalau dia tidak dapat menahan, dia akan mati dalam keadaan beku dan terbungkus es!

“Orang muda, kau benar-benar lihai sekali! Akan tetapi, untuk dianggap berharga melayani Yo-kongcu, kau harus dapat menandingi aku lebih dulu! Perkenalkan, aku bernama Gak Tong Sek!” 

Sambil berkata demikian, seperti seorang yang menghormat tamu, dia menjura dengan kedua tangan dirangkap di depan dada, selayaknya orang memperkenalkan diri.

Tepat seperti dugaan Yo Wan, begitu kakek gendut ahli Iweekeh ini mengangkat kedua lengan memberi hormat, dadanya terasa sesak karena terserang oleh hawa pukulan tersembunyi yang amat kuat, yang menyambar keluar dari gerakan kedua tangan yang dirangkapkan itu. 

Cepat Yo Wan menggerakkan kedua lengannya, diangkat keatas sehagai pembalasan hormat sambil diam-diam mengerahkan sinkang mendorong ke depan. Hawa pukulannya dan hal ini terasa benar oleh Gak Tong Sek karena wajahnya tiba-tiba berubah kaget dan jelas tampak dia mengerahkan tenaga untuk menahan dorongan lawan yang amat kuatnya itu. 

la merasa heran karena tidak mengira bahwa lawan yang demikian muda ini tidak saja dapat menahan dorongan pukulan jarak jauhnya, melainkan mengembalikan hawa pukulan itu dengan tambahan dorongan yang lebih kuat lagi. Tentu saja dia tidak mau menyerah kalah, merasa malu untuk pergi menghindar, maka sambil memasang kuda-kuda sekuatnya pada kedua kaki, dia menahan dorongan lawan.

Yo Wan merasa betapa dorongannya tertahan dengan kuatnya, dia menambah tenaganya dan terus mendorong. Gak Tong Sek mempertahankan dengan amat kuatnya, namun yang mendorong lebih kuat lagi. 

Terdengar suara keras dan tubuh kakek gendut itu terdorong mundur, akan tetapi sepasang kakinya tetap dalam keadaan memasang kuda-kuda, sedikitpun tidak terangkat dan dia tidak roboh terguling, melainkan terdorong ke belakang dengan kedua kaki menyeret lantai sehingga retak-retaklah lantai batu yang terseret kedua kakinya! 

Makin jauh kakek ini terdorong, makin berkuranglah kekuatan dorongan Yo Wan, sehingga setelah terdorong tiga kaki jauhnya, kakek ini berhenti. Wajahnya pucat dan keringat dua butir tampak di dahinya.

“Orang tua, kau benar-benar amat lihai, aku yang muda merasa kagum sekali,” kata Yo Wan tersenyum. 

Ucapannya ini sejujurnya saja karena memang dia merasa kagum akan daya tahan kakek itu sehingga dia tidak mampu merobohkan malah membuat kakek itu mengangkat kaki pun tidak sanggup. Benar-benar seorang kakek yang selain memiliki tenaga Iweekang tinggi, juga amat ulet dan tahan uji.

Akan tetapi bagi kakek Gak, ucapan ini dianggap sebagai ejekan, maka dia menjadi penasaran dan marah sekali. Biarpun dia maklum akan besarnya tenaga sinkang pemuda itu, namun belum tentu dia akan kalah dalam ilmu pukulan yang telah dilatihnya puluhan tahun lamanya, yang agaknya telah dia miliki sebelum orang muda ini lahir. 

Selama ini, hanyalah ketua Kipas Hitam saja orang muda yang mampu menandinginya dan hal ini tidak membuat dia kecil hati karena dia cukup maklum bahwa pangcunya itu mewarisi ilmu kepandaian yang luar biasa dari orang tuanya. Namun dia anggap bahwa di dunia ini tidak ada ke duanya dicari orang muda, seperti pangcu (ketua) dari Hek-san-pang.

“Bocah sombong, belum tentu aku kalah!” bentaknya marah sambil mengayun kedua tangannya, melancarkan pukulan-pukulan maut dari jarak jauh. 

Terdengarlah suara angin menyambar bersiutan sehingga api penerangan di empat penjuru ruangan itu bergoyang-goyang hampir padam. Demikianlah hebatnya ilmu pukulan jarak jauh dari kakek Gak Tong Sek yang dia sendiri namai Swan-hong-sin-ciang (Pukulan Sakti Angin Puyuh). 

Para pelayan yang tahu akan hebatnya ilmu pukulan ini, tanpa diperintah, lagi segera mundur dan menyelinap ke balik pintu. Hanya Yosiko yang masih berdiri tegak, pakaian dan penutup rambutnya berkibar-kibar oleh angin pukulan, namun dia sendiri tidak apa-apa karena iapun telah mengerahkan sinkang melindungi seluruh tubuhnya.

“Bagus !” mau tak mau Yo Wan memuji kehebatan ilmu pukulan ini. 

Akan tetapi tidak sia-sia dia digembleng habis-habisan di puncak Himalaya. Dengan amat tenang, penuh kepercayaan akan diri sendiri, dia melangkah maju sambil memangku kedua lengan, sama sekali tidak mengelak atau menangkis. 

Pukulan-pukulan jarak jauh datang bagaikan hujan badai menimpa dirinya, namun hanya pakaian dan rambutnya saja yang berkibar-kibar, namun semua hawa pukulan itu terbentur dan membalik ketika bertemu dengan hawa sinkang yang menyelubungi seluruh tubuhnya! 

Sudah penuh keringat muka dan leher Gak Tong Sek, namun semua pukulannya sia-sia belaka. Saking marah dan penasarannya, dia melompat maju, kini menggunakan kedua tangannya memukul dari jarak dekat dengan pengerahan tenaga Iweekang sepenuhnya.

Tentu saja Yo Wan maklum bahwa pukulan ini terlalu berbahaya untuk diterima seperti dia menerima pukulan jarak jauh tadi. Cepat kedua tangannya bergerak. 

“Duk-duk!” 

Dua kali empat buah lengan itu bertemu dan tubuh kakek Gak Tong Sek melayang keluar dari pintu ruangan, jatuh berdebuk diluar ruangan itu, tak dapat bangun lagi, hanya terdengar dia mengorok seperti kerbau disembelih. Diantara tiga orang kakek yang melawan Yo Wan, kakek Gak inilah yang paling berat lukanya. Hal ini adalah karena dia terpukul oleh tenaga Iweekangnya sendiri, sehingga biarpun tidak akan kehilangan nyawanya, namun sedikitnya tiga bulan dia harus berbaring!

Kini lenyaplah sama sekali kemarahan dari wajah Yosiko, terganti bayangan kekaguman pada wajahnya yang tampan berseri. Sepasang matanya berkilauan dengan gerakan-gerakan cepat biji matanya yang bening menandakan kecerdikan otaknya, bibirnya tersenyum-senyum ketika ia melangkah maju dengan senjata di tangan. 

Seperti tadi ketika menghadapi Hwat Ki, kini tangan kanannya memegang pedang, dan tangan kirinya memegang sabuk sutera putih. Dengan langkah cepat ia bertindak maju, sepasang matanya tak pernah mengalihkan pandangannya dari wajah Yo Wan.

“Hebat…… kau….. kau lebih lihai daripada Tan Hwat Ki…… kau hebat…..!”





  • Kembali 

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)