PENDEKAR BUTA JILID 005

Mendapat bantuan omongan tosu itu, Swat-ji tersenyum dan melirik. Kun Hong diam-diam merasa muak mendengar ucapan si tosu, apalagi dia dapat menangkap getaran dalam suara itu dan dapat menduga bahwa tosu ini biarpun tua tentulah seorang mata keranjang. Nona bernama Swat-ji itu tentu seorang gadis yang cantik dan dia dapat tahu pula bahwa gadis itu berwatak genit.

Cepat-cepat Kun Hong menjura. 
“Tidak usah……. tidak usah, aku tidak dapat tinggal lama, Nona. Malah tadi aku sudah berpamit kepada ayahmu, aku harus segera pergi melanjutkan perjalananku.”

“Ah, mana bisa begitu? Sinshe, kau harus menerima pernyataan terima kasih kami, terutama dari aku sendiri yang amat berterima kasih karena kau telah menyembuhkan ayah. Mari, mari kuantar kau, Sinshe. Biar kutuntun tongkatmu.”

Pada saat Kun Hong berdiri bingung menghadapi desakan gadis yang “nekat” ini, tiba-tiba semua orang terkejut melihat datangnya seorang diantara mereka yang berlari-lari dalam keadaan luka parah.

“Musuh……….. musuh……….. telah menyerbu………..!” katanya dan dia roboh terguling. 

Keadaan menjadi panik disitu, semua orang berlari-lari untuk melakukan persiapan menyambut serbuan musuh.

Lauw Teng tidak perdulikan anaknya lagi, dia sibuk memberi perintah dan mengatur anak buahnya dan enam puluh orang lebih banyaknya itu untuk melakukan penjagaan disana-sini. Hanya tosu itu yang kelihatan tenang-tenang saja.

“Lauw-sicu, jangan gugup. Biarlah kita menanti kedatangan mereka disini, hendak pinto lihat apakah orang she Bhe itu mempunyai tiga kepala dan enam lengan?”

Sementara itu, tiba-tiba Kun Hong merasa betapa telapak tangan yang halus telah memegang tangannya dan terdengar bisikan gadis itu, 

“Sinshe, mari kita bersembunyi ke sudut sana sambil menonton. Biar kuceritakan kepadamu nanti jalannya pertandingan, sebentar lagi akan terjadi pertempuran hebat.”

Sedianya Kun Hong akan menolak dan pergi. Akan tetapi karena dia amat tertarik ingin mengetahui apakah sebenarnya yang telah terjadi dan siapakah pula musuh Hui-houw-pang ini, pula dia ingin seberapa bisa mencegah terjadinya pertempuran dan bunuh-membunuh, maka dia diam saja dan menurut ketika gadis itu menuntunnya pergi dari situ. Malah dia mengharapkan untuk mendapatkan keterangan dari gadis ini tentang sebab-sebab permusuhan.

Karena semua orang sedang sibuk mengatur penjagaan, Swat-ji mengajak Kun Hong duduk diatas bangku panjang yang tersembunyi di sudut ruangan muka. Gadis itu tetap menggandeng tangan Kun Hong dan baru setelah mereka duduk diatas bangku, Kun Hong menarik tangannya dan bertanya,

“Nona, ada apakah ribut-ribut ini? Siapa yang menyerbu dan mengapa terjadi permusuhan?”

Gadis itu tertawa merdu dan genit. 
“Ah, biasa saja berebutan mangsa! Akan tetapi kali ini yang diperebutkan adalah barang yang amat berharga sehingga ayah membelanya mati-matian. Mereka yang datang menyerbu adalah orang-orang Kiang-liong-pang (Perkumpulan Naga Sungai).”

“Kiang-liong-pang? Perkumpulan apakah itu dan perkumpulan ayahmu yang bernama Hui-houw-pang inipun perkumpulan apakah sebetulnya?”

“Iihh, kiranya kau tidak tahu apa-apa! Hui-houw-pang amat terkenal di Propinsi Santung, setidaknya tidak kalah terkenal dengan Kiang-liong-pang. Semua perampok di wilayah ini tunduk kepada Hui-houw-pang, dan ayah merupakan penarik pajak jalan yang paling adil di dunia ini.”

“Apa itu pekerjaan penarik pajak jalan? Kau maksudkan perampok?”

“Sebaliknya dari perampok! Anggauta-anggauta kami menjaga jalan-jalan sunyi di gunung dan hutan, dan sama sekali tidak merampok rombongan pedagang atau pelancong yang lewat, karena itu mereka harus memberi pajak jalan kepada kami. Bukankah itu adil? Kalau mereka memberi pajak jalan, mereka takkan diganggu.”

Kun Hong mengangguk-angguk, dalam hati dia mencela. Apa bedanya pemerasan dengan perampokan?





“Adapun Kiang-liong-pang adalah perkumpulan para bajak air atau bajak sungai yang menguasai semua bajak di Yang-ce dan Huang-ho sampai ke muara. Memang seringkali terjadi perebutan kekuasaan antara darat dan sungai ini dan memang orang-orang Kiang-liong-pang amat kurang ajar. Belum lama ini kami terpaksa menyita rombongan bekas pembesar yang mengundurkan diri karena pembesar sombong itu tidak mau membayar pajak jalan. Pertempuran terjadi dan kami berhasil melukai pembesar itu dan membunuh orang-orangnya. Akan tetapi, tiba-tiba muncul orang-orang Kiang-liong-pang yang segera turun tangan pula, menyatakan bahwa pembesar itu sedang menawar perahu dan karenanya menjadi mangsa mereka. Terjadi perang lebih hebat lagi memperebutkan harta pusaka yang ternyata amat banyak. Banyak orang kami luka-luka termasuk ayah yang kau obati tadi. Akan tetapi barang-barang pusaka yang paling berharga dapat kami bawa pulang, di antaranya sebuah mahkota emas penuh permata yang tak ternilai harganya, mahkota yang dibawa oleh bekas pembesar itu dari istana. Kabarnya itu adalah bekas mahkota yang dipakai oleh permaisuri kaisar di jaman Kerajaan Tang dahulu.”

Muak rasa hati Kun Hong mendengar penuturan ini. Tidak salah dugaannya yang mengecewakan hatinya tadi bahwa baik perkumpulan Hui-houw-pang maupun lawannya, yaitu Kiang-liong-pang, adalah perkumpulan golongan hitam. Kiranya mereka adalah perampok-perampok yang sekarang sedang bertengkar dengan para bajak!

“Sebenarnya, biarpun saling bersaingan, kalau hanya untuk urusan harta benda biasa saja tak mungkin kedua fihak sampai bertempur.” gadis itu melanjutkan penuturannya. “Akan tetapi untuk mahkota ini kami tidak mau mengalah begitu saja.”

“Apakah karena terlalu berharga?” Kun Hong tertarik.

“Bukan, tapi karena mahkota itu dapat menjadi jalan agar kami dapat mendekati kaisar baru, mengambil hatinya dan memperoleh kedudukan tinggi dalam kerajaan. Kabarnya kaisar muda yang baru ini amat mudah diambil hatinya.”

“Kaisar baru? Kaisar muda? Apa maksudmu?!” Kun Hong menahan gelora hatinya mendengar kata-kata ini.

“Iihhh, kau benar-benar buta!” Gadis itu tertawa.

“Memang aku buta, siapa pernah membantah?” 

Kun Hong terpaksa melayani kelakar ini agar si gadis suka melanjutkan ceritanya yang mulai menarik hatinya.

Dengan lagak genit Swat-ji mencubit lengan Kun Hong. 
“Kau memang buta, tapi kau tampan dan pandai……. eh, aku suka padamu, kau lucu…….”

Tentu saja Kun Hong tidak mau melayani kegenitan gadis itu, tapi diapun tidak mencelanya, hanya berkata halus. 

“Nona, aku ingin sekali mendengar penjelasanmu tentang kaisar baru tadi.”

“Kau benar-benar belum mendengarnya? Kaisar tua sudah meninggal tiga bulan yang lalu, dan sekarang di kota raja terjadi keributan dalam menentukan siapa yang akan menggantinya. Akan tetapi sudah tentu calon kaisar adalah Pangeran Kian Bun Ti, cucu kaisar yang tercinta, sebagai anak dari pangeran sulung yang telah tiada. Nah, kau tahu sekarang dan tentang mahkota itu, sebetulnya telah dilarikan oleh bekas pembesar dari kota raja yang agaknya mempergunakan saat kota raja ribut-ribut, lalu lari membawa mahkota kuno yang tak ternilai harganya itu. Sekarang mahkota itu berada di tangan kami, dan tentu akan membawa ayah ke depan kaisar untuk menerima anugerah dan kedudukan.”

Diam-diam Kun Hong kaget juga. Selama tiga tahun ini dia merantau tidak pernah memperhatikan persoalan dunia.

Kiranya Kaisar Thai-cu, yaitu pendiri Kerajaan Beng, seorang pahlawan yang sejak dahulu sering dipuji-puji ayahnya, kini telah meninggal dunia dan singgasana kerajaan agaknya dijadikan bahan perebutan oleh para pangeran. 

Mengingat bahwa Pangeran Kian Bun Ti dicalonkan menjadi kaisar diam-diam Kun Hong menarik napas panjang. Dia sudah pernah bertemu dengan pangeran ini (baca cerita Rajawali Emas), dan dia sudah mengenal watak yang kurang baik dari pangeran itu yang dahulu tidak segan-segan untuk mencoba memaksa dua orang keponakannya, yaitu Thio Hui Cu dan Kui Li Eng, untuk menjadi selir-selirnya! Tiba-tiba dia sadar dari lamunannya ketika kembali lengannya dicubit dan suara gadis itu terkekeh,

“Hi-hik, kenapa kau termenung setelah mendengar tentang kaisar? Apakah kau ingin menjadi kaisar? Hi-hi-hi, alangkah lucu dan bagusnya, kaisar buta! Sinshe yang baik, kau tidak usah melamun menjadi kaisar, biarlah kau menjadi tabib kami saja disini, malam nanti kau boleh memijati tubuhku yang lelah. Kau pandai memijatkan?” 

Gadis itu menggeser duduknya, merapatkan tubuhnya yang hangat itu kepada Kun Hong.

Kun Hong tidak memperdulikan hal ini karena pikirannya sedang bekerja keras. Telinganya sudah dapat menangkap derap kaki orang banyak menuju ke tempat itu. Berdebar dia kalau teringat betapa sebentar lagi akan terjadi pertempuran, bunuh-membunuh di depan matanya yang buta.

“Nona, sebentar lagi musuh-musuhmu menyerbu, melihat betapa ayahmu dan anak buahnya terluka, tentu musuh itu amat kuat. Apakah kau tidak takut?”

“Ihh, mengapa takut? Dengan pedangku aku mampu menjaga diri. Malah aku ingin mencoba kelihaian jahanam tua she Bhe itu dengan pedangku!”

“Tapi……. tapi mereka datang untuk mahkota itu. Bagaimana kalau mereka menyerbu ke rumah ayahmu dan merampas mahkota? Kupikir, mahkota itu harus disembunyikan dulu…….”

“Ah, kau pintar juga!” 

Tangan yang halus itu mengusap dagu Kun Hong, membuat pemuda buta ini merasa dingin di belakang punggungnya. 

“Tapi ayah dan aku lebih pintar. Mahkota itu tak pernah terpisah dari tubuhku.” kata-kata ini dibisikkan di dekat telinga Kun Hong sehingga pemuda buta ini dapat merasa betapa napas Swat-ji panas-panas meniup pipinya.

Cepat laksana kilat Kun Hong menggerakkan tangannya dan tahulah dia pada detik lain bahwa mahkota yang dimaksudkan itu berada dalam buntalan yang digendong oleh gadis ini.

Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan nyaring dan Kun Hong mendengar suara kaki beberapa orang yang menggunakan ilmu meringankan tubuh memasuki ruangan depan tempat Swat-ji berbisik, 

“Mereka sudah datang, Bhe Ham Ko sendiri yang memimpin…….”

Gadis inipun tidak berani main-main lagi sekarang, ia mengalihkan perhatiannya dari tabib buta yang menarik hatinya itu kepada para musuh yang telah berada disitu. Yang kelihatan berada diluar halaman saja sedikitnya ada dua puluh orang Kiang-liong-pang.
Adapun yang sudah meloncat memasuki pekarangan adalah seorang tua tinggi kurus yang memegang sebatang dayung kuningan. 

Swat-ji menduga bahwa tentu inilah orangnya yang bernama Bhe Ham Ko, ketua dari Kiang-liong-pang yang telah melukai ayahnya. Di samping kakek ini berdiri lima orang laki-laki tinggi besar yang menilik pakaiannya tentulah tokoh-tokoh dalam perkumpulan bajak itu. 

Di belakang mereka, berdiri acuh tak acuh, tampak seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam, berusia empat puluh tahun lebih. Berbeda dengan Bhe Ham Ko dan lima orang pembantunya yang berdiri dengan senjata di tangan, laki-laki ini membiarkan ruyung bajanya tergantung di pinggang dan tidak memperlihatkan muka yang serius, malah menengok kesana kemari seperti seorang pelancong melihat-lihat pemandangan indah.

“Hui-houw-pangcu Lauw Teng, kami dewan pengurus Kiang-liong-pang sudah datang mengunjungimu. Keluarlah agar kita dapat merundingkan perkara sampai beres!” kakek she Bhe itu mengeluarkan suaranya. “Kamipun membawa obat dan ahli untuk menyembuhkan luka-luka para sahabat dari Hui-houw-pang!”

Jelas terdengar dalam suara ini bahwa ketua Kiang-liong-pang ini mengandung ancaman dan bujukan. Membujuk untuk berbaik di samping mengingatkan bahwa pertempuran hanya akan mendatangkan kerusakan dan kerugian pada fihak Hui-houw-pang!

“Kiang-liong-pangcu Bhe Ham Ko, luka-luka yang kecil tiada artinya itu tidak perlu dibicarakan. Kami sudah siap menanti kedatanganmu!” 

Muncullah Lauw Teng diiringi tujuh orang pembantunya dengan langkah gagah dan senjata siap ditangan kanan!







006

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)