PENDEKAR BUTA JILID 006

Berubah wajah Bhe Ham Ko melihat bekas lawannya itu kelihatan sehat benar, malah para pembantunya yang tadinya terkena pukulannya yang mengandung hawa beracun kini sudah muncul dalam keadaan sehat! Akan tetapi keheranannya lenyap ketika dia melirik dan melihat seorang tosu berjalan keluar dari samping. Dia tertawa bergelak sambil mengelus jenggotnya yang tipis.

“Ha-ha-ha, kiranya Lauw-pangcu mendapat bantuan orang pandai. Pantas saja tidak membutuhkan obat-obatan dari kami lagi. Ataukah engkau hendak mempelajari kitab To-tik-keng bersama anak buahmu, memang pantas kalau gedung ini diubah menjadi kuil.” 

Inilah ucapan menghina dan menyindir karena fihak Hui-houw-pang terdapat seorang tosu tua.

Merah wajah Lauw Teng, juga dia menjadi heran sekali. Biasanya, seperti yang dia ketahui, ketua Kiang-liong-pang ini adalah seorang yang amat hati-hati dan bukan seorang kasar yang sembrono. Kenapa hari ini menjadi begini sombong, berani sekali menghinanya dan malah berani mengejek Ban Kwan Tojin? Tentu ada sebabnya, pikirnya dan ketika dia melihat sikap acuh tak acuh dari orang tinggi besar muka hitam di belakang rombongan ketua Kiang-liong-pang itu, dapatlah dia menduga bahwa tentu orang itu yang dijadikan andalan.

“Bhe-pangcu, tak perlu banyak bicara lagi kiranya. Kita sudah lama tahu apa maksudmu datang mengunjungiku pada saat ini, lengkap dengan anak buah dan senjata. Nah, keluarkan isi hatimu. Bagi kami, tetap kami tidak akan suka mengalah, oleh karena kami merasa bahwa pembesar she Tan itu adalah mangsa kami di daratan. Barang-barang bekalnya yang terampas oleh kami menjadi hak kami dan tak seekor setanpun boleh mengambilnya begitu saja dari tangan kami!”

Bhe Ham Ko tertawa menyeringai dan menggerak-gerakkan dayungnya. 
“Aku tahu akan kekerasan hati Lauw-pangcu, tahu pula bahwa benda pusaka itu kau kukuhi bukan karena harganya, melainkan karena pentingnya guna membuka pintu kota raja. Bukankah begitu?”

Kembali wajah Lauw Teng menjadi merah. 
“Apapun yang akan kulakukan dengan benda hakku itu, bukan menjadi urusanmu, Bhe-pangcu. Dan kiranya……. setiap orang berhak untuk mencari kemajuan dalam hidupnya…….” 

Dia merasa segan dan sungkan untuk bicara terus terang dengan hasratnya mencari kedudukan di kota raja.

“Jadi kau berkukuh hendak memiliki mahkota pusaka kerajaan itu?” Bhe Ham Ko membentak.

“Memang! Dan kami akan mempertahankannya dengan senjata kami!” jawab Lauw Teng berani. 

Ketua Hui-houw-pang ini tentu saja menjadi besar hatinya karena dia mengandalkan bantuan Ban Kwan Tojin dan tiga orang gagah lain yang menjadi tamu undangannya, yang sekarangpun telah memasuki pekarangan dan berdiri dengan sikap gagah di dekat Ban Kwan Tojin.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. 
“Tua bangka she Bhe jangan menjual lagak disini!” 

Bayangan merah berkelebat dan ternyata Swat-ji sudah melompat ke depan rombongan lawan dengan pedang di tangan, sikapnya gagah.

“Swat-ji…….!” 

Lauw Teng menegur kaget, bukan melihat puterinya hendak menentang lawan, melainkan kaget karena tidak melihat buntalan di pungung Swat-ji, buntalan mahkota yang sengaja dia suruh bawa anak gadisnya yang dia tahu memiliki ilmu pedang yang cukup tinggi. Dalam hal ilmu silat, puteri ini tidak kalah lihai daripadanya sendiri.

“Ayah, biarkan aku mengusir anjjng tua ini agar jangan banyak menjual lagak disini.” Gadis yang galak ini segera menggerakkan pedangnya menyerang Bhe Ham Ko.

Ketua Kiang-liong-pang tertawa bergelak. 
“Ha-ha-ha, bapaknya harimau liar anaknyapun sama juga. Biarlah aku orang tua menjinakkan macan betina liar ini!” 

Dengan tenang orang she Bhe ini menggerakkan dayungnya menangkis, akan tetapi diam-diam dia mengerahkan tenaga Iweekangnya untuk membuat pedang gadis itu terlempar dengan sekali tangkis.





Swat-ji tidak bodoh. Tentu saja ia sudah mendengar tentang tenaga Iwee-kang yang tangguh dari kakek ini, maka dengan gerakan pergelangan tangannya ia menyelewengkan pedangnya menghindarkan benturan senjata lawan lalu dengan cepat dari samping pedangnya mengirim tusukan miring kearah lambung.

“Aiiih, tidak jelek…….!” 

Bhe Ham Ko berseru dan cepat melompat mundur sambil mengelebatkan dayungnya yang menyambar dari atas kearah kepala Swat-ji. Namun gadis itu dengan gerakan yang lincah dapat pula mengelak sambil meneruskan dengan serangan berantai. Gerakannya memang cepat dan agaknya dengan kecepatan ini ia hendak mencapai kemenangan. Pedangnya menyambar-nyambar dan sama sekali ia tidak memberi kesempatan kepada lawannya untuk membentur senjatanya.

“Bagus! Lauw-pangcu, kepandaian anakmu bagus juga!” 

Bhe Ham Ko berseru dan terpaksa kakek ini memutar dayungnya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya daripada hujan tusukan dan bacokan.

Dengan menggunakan ketajaman pendengarannya Kun Hong dapat menduga bahwa biarpun Swat-ji memiliki gerakan yang amat cepat, namun ia takkan menang menghadapi lawannya yang memiliki gerakan antep, bertenaga, dan tenang itu. Dia mengerutkan keningnya. Pertandingan besar-besaran dan mati-matian tentu takkan dapat dicegah lagi. 

Sebetulnya dia boleh tak usah ambil perduli karena kedua fihak yang akan bertanding bunuh-membunuh adalah golongan hitam atau Orang-orang yang mempunyai pekerjaan merampok dan membunuh. Mereka adalah orang-orang jahat. 

Akan tetapi, pemuda buta ini merasa tidak tega untuk membiarkan sesama manusia saling bunuh, hanya untuk memperebutkan sebuah benda mati yang oleh Swat-ji dititipkan kepadanya dan kini berada di buntalan pakaiannya itu. Alangkah bodohnya manusia. Untuk mencari harta atau kedudukan, rela mengorbankan nyawa, malah tega untuk membunuh sesama manusia. Kun Hong berpikir keras, mencari akal untuk mencegah permusuhan antara kedua golongan itu.

Akan tetapi, baru saja dia bangkit berdiri untuk mencegah menghebatnya perkelahian, mendadak disana-sini terdengar seruan heran dan marah. Sesosok bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu dayung di tangan Bhe Ham Ko terpental ke belakang, sedangkan Swat-ji terhuyung-huyung. 

Ketika mereka memandang, disitu telah berdiri seorang gadis cantik jelita masih muda sekali, berpakaian serba hitam yang ringkas dan sikapnya gagah, sepasang matanya yang jeli memandang kekanan-kiri. Alisnya yang hitam panjang itu berkerut, mulut yang kecil dengan bibir merah segar membayangkan kekerasan hati dan keangkuhan.

Dengan sekali gerakan saja dapat mengundurkan Bhe Ham Ko dan Swat-ji, dapat dibayangkan bahwa gadis jelita ini memiliki kepandaian yang hebat. Swat-ji yang terhuyung-huyung itu amat marah, akan tetapi sebelum ia sempat mengembalikan keseimbangan tubuhnya, bagaikan seekor burung walet, gadis baju hitam itu bergerak, tubuhnya menyambar dan tahu-tahu Swat-ji merasa dirinya diangkat keatas. 

Kiranya tengkuknya telah dicengkeram oleh gadis itu dan betapapun ia berusaha melepaskan diri, ia tidak mampu bergerak, bahkan pedang yang masih dipegangnya itu tak dapat pula ia gerakkan seakan-akan seluruh tubuhnya menjadi lumpuh!

“Kaum kotor dari Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang dengarlah! Hari ini nonamu datang untuk mengambil mahkota pusaka, kalian tidak boleh ribut-ribut lagi dan harus mengalah kepada nonamu!”

Sikap yang amat sombong ini menimbulkan kemarahan, juga kegelian. Apalagi Lauw Teng yang melihat anaknya ditangkap seperti itu, kemarahannya memuncak dan dia membentak,

“Gadis liar dari mana datang mengacau? Kau siapa berani membuka mulut besar disini?”

Gadis muda itu tersenyum mengejek. Manis sekali ia kalau tersenyum sehingga banyak diantara para anak buah kedua fihak itu terpesona melihat cahaya gigi gemerlapan dibalik bibir yang merah dan berbentuk indah itu.

“Kau ketua dari Hui-houw-pang, tak perlu banyak cakap. Aku tahu bahwa mahkota berada di tanganmu, lekas serahkan kepada nonamu, kalau tidak, akan kubanting hancur anak perempuanmu yang tak tahu malu ini!”

Hemmm, kiranya bocah ini hendak memaksaku dengan menangkap anakku, pikir Lauw Teng yang segera menjawab dengan tersenyum mengejek. 

“Boleh kau banting anak tiada guna itu, mana bisa aku memberikan mahkota pusaka kepadamu? Gadis liar, lebih baik lekas mengaku kau siapa dan siapa menyuruhmu datang mencampuri urusan kami?”

Gadis pakaian hitam itu nampak kecewa, lalu melemparkan tubuh Swat-ji sambil mengomel, 

“Gadis sialan, sampai ayah sendiri tidak sayang kepadamu!” 

Swat-ji terlempar dan jatuh bergulingan, tapi ia cepat melompat lagi dengan mata berapi-api dan muka merah sekali. Kalau saja ia tidak ingat bahwa tingkat kepandaian gadis baju hitam itu jauh lebih tinggi darinya, tentu akan diserangnya mati-matian, bukan main marahnya pada saat itu.

“Pangcu dari Hui-houw-pang, juga kalian orang-orang Kiang-liong-pang. Kalian mau tahu siapa nonamu ini? Dunia kang-ouw menyebutku Bi-yan-cu (Si Walet Jelita). Nama aseliku tak perlu kuberitahu, kalian kurang berharga untuk mengenalnya. Ayahku adalah Sin-kiam-eng Tan Beng Kui.”

Ketika nona muda itu memperkenalkan julukannya, para penjahat itu saling pandang sambil tersenyum-senyum karena memang nama itu tidak terkenal. Akan tetapi ketika gadis itu menyebut nama Sin-kiam-eng Tan Beng Kui sebagai ayahnya, berubah wajah mereka. 

Bahkan kedua pangcu itu dan para tamu undangan nampak kaget sekali. Sin-kiam-eng Tan Beng Kui memang jarang muncul di dunia Kang-ouw, namun namanya dikenal sebagal seorang tokoh besar yang berilmu tinggi, yang sekarang hidup sebagai seorang “raja kecil” di pantai Laut Pohai, di lembah muara Sungai Kuning. 

Karena kepandaiannya yang tinggi tak seorangpun bajak laut atau perampok berani mengganggu perkampungan raja kecil ini. Sekarang tahu-tahu seorang gadis jelita yang datang ini mengaku sebagai puterinya dan bermaksud merampas mahkota pusaka yang sedang diperebutkan oleh golongan itu.

Swat-ji yang masih merasa penasaran, ketika mendengar ini segera tahu bahwa gadis yang dibencinya itu tentu akan dimusuhi oleh kedua fihak, maka keberaniannya timbul kembali. Baginya yang belum banyak merantau, ia tidak mengenal siapa itu Sin-kiam-eng (Pendekar Pedang Sakti) Tan Beng Kui.

“Budak liar jangan menjual lagak disini!” 

Swat-ji memaki dan cepat menyerbu dengan pedangnya dari belakang langsung menyerang gadis yang berjuluk Bi-yan-cu itu.

Si Walet Jelita, gadis yang cantik itu, mengeluarkan suara mengejek dan ketika tubuhnya bergerak dengan amat indahnya ternyata ia telah dapat mengelak tanpa mengubah kedudukan kakinya dan selagi pedang lawannya menyambar lewat, tangan kirinya mendorong. 

Tak dapat tertahankah lagi tubuh Swat-ji terdorong ke depan, apalagi dari belakang ditambah sebuah tendangan ke tubuh belakang yang mengeluarkan bunyi “plok!” membuat tubuh Swat-ji terperosok ke depan, pedangnya mencelat dan hidungnya yang mencium tanah dengan keras itu mengeluarkan darah.

“Tangkap gadis liar ini!” terdengar Hui-houw-pangcu Lauw Teng memberi aba-aba.

“Bunuh saja dia!” terdengar ketua Kiang-liong-pang berseru. 

Dua fihak yang tadinya bermusuhan, untuk sementara melupakan permusuhan mereka dan tanpa berunding sudah bersekutu untuk mengalahkan gadis berbahaya itu.

Dengan pendengarannya yang tajam Kun Hong dapat mengikuti semua peristiwa itu. Hatinya berdebar ketika dia mendengar pengakuan gadis yang baru datang itu. Nama Tan Beng Kui tentu saja dikenalnya baik sungguhpun belum pernah dia bertemu muka dengan orangnya. 

Dia sudah banyak mendengar dari ayah bundanya tentang Tan Beng Kui karena orang ini dahulu juga seorang pejuang gagah, murid pertama dari Raja Pedang Cia Hui Gan. Bukan itu saja, malah Tan Beng Kui ini adalah kakak kandung dari Tan Beng San yang sekarang menjadi ketua Thai-san-pai.







007

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)