PENDEKAR BUTA JILID 039
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
“Ha-ha-ha-ha, pinceng kagum akan ketabahannmu, Nona cilik. Betulkah tongkat pinceng yang butut ini tidak akan mampu menghalangi kau pergi?”
“Tentu saja tidak mampu. Berani aku bertaruh! Kau boleh jadi lebih kuat dan lebih matang ilmu silatmu dibandingkan dengan aku karena kau sudah tua, akan tetapi aku menang muda dan aku lebih cepat daripadamu. Kalau aku lari cepat, mana kau mampu mengejarku?”
Kembali ucapan ini menggelikan dan Ka Chong Hoatsu juga tertawa bergelak. Dia merasa malu untuk berdebat dengan seorang bocah, apalagi dalam soal kepandaian silat, maka biarpun hatinya mendongkol, dirinya tertawa dan diam-diam ingin mengalahkan bocah ini biar kapok dan tidak membuka mulut besar.
“Tentu saja, pinceng sudah tua mana dapat lari cepat? Akan tetapi, agaknya kau ini seorang bocah perempuan cilik, juga tidak akan dapat melangkah lebar seperti pinceng, ha-ha-ha!”
“Eh, Hwesio tua, jangan pandang rendah padaku, ya? Berani kau bertaruh dengan aku berlomba lari cepat? Mana kau berani. Huh, kau hanya berani menghina bocah perempuan mengandalkan kepandaian dan usia tua. Hayo, kalau kau berani berlomba lari cepat, biar kita bertaruh. Kalau kau kalah, kau dan semua orang ini tidak boleh menghalangi aku pergi dari pulau ini, kalau aku yang kalah, terserah kepadamu. Berani tidak?”
Sekali lagi Kun Hong mengeluh. Kenapa Loan Ki begitu goblok? Kalau tadi tak usah banyak cakap, tetap berada di dekatnya, tentu dia akan dapat melindungi nona cilik nakal itu. Sekarang nona itu malah mencari penyakit sendiri. Mana mungkin menang berlomba lari cepat melawan hwesio yang sakti itu?
“Ha-ha-ha, kau lucu sekali, Nona cilik. Masa orang tua diajak balap lari. Tapi biarlah, kalau tidak dituruti kehendakmu, khawatir kau akan rewel dan ngambek, bisa gagal maksud pinceng menghubungi ayahmu. Ha-ha-ha!”
“Bagus, kau lihat bunga bwee yang tumbuh disana itu?”
Ka Chong Hoatsu mengangguk sambil tersenyum. Pohon bunga bwee itu tumbuh di sebelah kiri bangunan, kurang lebih dua ratus meter jaraknya dari situ. Bagi kakek ini, beberapa belas kali lompatan saja sudah akan sampai disana!
“Nah, kita berlomba lari cepat sampai di tempat itu. Siapa yang dapat memegang bunga bwee itu lebih dulu, dia menang. Setuju?”
“Ha-ha-ha setuju, setuju!” jawab hwesio tua.
“Nah, kau bersiaplah, Hwesio. Aku akan menghitung sampai tiga, sebelum hitungan sampai tiga kau tidak boleh mulai lari. Jangan curang!”
“Ha-ha-ha, boleh……. boleh…….” jawab Ka Chong Hoatsu, gembira juga menyaksikan permainan kanak-kanak ini.
Akan tetapi Loan Ki tidak segera menghitung, melainkan berdiri sambil mengerutkan keningnya yang bagus.
“Hayo lekas mulai!” tegur Ka Chong Hoatsu.
Loan Ki menggeleng kepalanya.
“Percuma……. aku masih belum percaya benar kepadamu, jangan-jangan setelah kalah kau masih curang dan menjilati janji sendiri. Kau benar-benar berjanji akan membebaskan kami berdua tanpa mengganggu pula kalau kalah balapan lari denganku?”
Ka Chong Hoatsu memandang dengan mata melotot besar.
“Bocah kurang ajar, pinceng Ka Chong Hoatsu mana sudi menjilat ludah sendiri? Hayo mulai!”
“Orang gagah lebih baik mati daripada menjilat ludah sendiri tidak menepati janji. He, Ka Chong Hoatsu, kau berjanji akan membebaskan kami dan membiarkan kami pergi dari pulau ini kalau kau kalah balapan lari dengan aku?”
“Pinceng berjanji, gadis liar!”
Loan Ki tersenyum, manis sekali.
“Dan kau berjanji takkan berlaku curang dalam balapan lari ini, tidak akan mulai lari sebelum aku menghitung sampai tiga?”
“Setan cilik, siapa sudi bermain curang? Tak usah bermain curang, lebih baik pinceng takkan lari selamanya kalau kalah cepat lariku daripada larimu. Hayo mulai!”
“Betulkah itu? Hi-hik, coba kita lihat dan saksikan bersama.”
Gadis ini memasang kuda-kuda, siap untuk balapan lari, seperti orang hendak merangkak, berdiri dengan kaki dan tangan diatas tanah, tubuh belakangnya sengaja ditonjolkan keatas sehingga ia nampak lucu sekali.
“Ha-ha-ha, kau seperti seekor kuda betina tanpa ekor!” Ka Chong Hoatsu tertawa geli.
Loan Ki tidak perduli, malah bicara dengan nyaring kepada semua orang yang berada disitu,
“Kalian semua mendengar janji hwesio tua bangka ini! Sebelum aku menghitung sampai tiga, dia tidak boleh mulai lari!” Kemudian ia mulai menghitung dengan suaranya lantang,
“Satu…….”
Suasana menjadi tegang dan sunyi karena biarpun semua orang yakin bahwa gadis itu akan kalah, namun menyaksikan sikap bersungguh-sungguh dari Loan Ki, mereka menduga-duga dengan ilmu apakah gadis ini akan menghadapi kecepatan Ka Chong Hoatsu.
Juga hwesio itu yang tadinya menganggap ringan dan sudah merasa yakin akan menang, melihat sikap ini dan mendengar suara aba-aba, menjadi tegang juga dan tanpa disadarinya dia sendiripun telah siap memasang kuda-kuda untuk segera “tancap gas” kalau hitungan itu sudah sampai tiga.
“Dua……”
Urat-urat di tubuh Ka Chong Hoatsu makin menegang, tumitnya sudah diangkat untuk segera melompat. Akan tetapi hitungan “tiga” tidak keluar-keluar dari mulut Loan Ki, malah sekarang gadis itu berdiri dan berjalan cepat ke depan tanpa melanjutkan hitungannya.
Semua orang terheran, juga Ka Chong Hoatsu yang mengira gadis itu tentu akan mengatur sesuatu maka berjalan ke depan kearah bunga bwee itu. Akan tetapi setelah berada dekat sekali, kurang lebih dua meter dari pohon bunga bwee itu, tiba-tiba Loan Ki berteriak nyaring sekali,
“….. tiga…….!!” dan iapun berlari maju memegang kembang itu sambil tertawa-tawa dan bersorak-sorak ”Aku menang…….! Hi-hik hwesio tua, kau kalah!”
Ka Chong Hoatsu melengak. Tentu saja tadi dia tidak sudi lari, karena kalau laripun tak mungkin dapat menangkan Loan Ki yang sudah berada di dekat pohon itu, tinggal mengulur tangan saja. Dari heran dia menjadi marah sekali.
“Gadis liar! Kau curang! Mana ada aturan begitu?” bentaknya.
Loan Ki meloncat dengan gerakan ringan cepat sekali, tahu-tahu ia sudah berada di depan Ka Chong Hoatsu, menudingkan telunjuknya dengan marah.
“Ka Chong Hoatsu, kau seorang hwesio tua, seorang yang namanya sudah terkenal di seluruh kolong langit, apakah hari ini kau hendak menjilat ludah sendiri dan berlaku curang? Ingat baik-baik bagaimana janji kita tadi. Bukankah kau sudah setuju dan berjanji takkan lari sebelum aku menghitung sampai tiga? Perjanjian menunggu sampai hitungan ke tiga ini tadi hanya dikenakan kepadamu, tidak kepadaku. Siapa yang berjanji bahwa aku juga harus menanti sampai hitungan ke tiga? Aku tidak melanggar janji siapa-siapa, aku tidak curang, dan kau sudah kalah, kalah mutlak. Coba katakan apa kau berani melanggar janjimu sendiri?”
Ka Chong Hoatsu terkesima, tak dapat bicara untuk beberapa lama. Kemudian dia membanting-banting tongkatnya sehingga tanah yang bercampur batu di depannya menjadi bolong-bolong seperti agar-agar ditusuki biting saja.
“Bocah liar, kau memang menang, akan tetapi bukan menang karena kecepatan berlari, melainkan menang karena akal bulus!”
Loan Ki tersenyum manis dan menjura sampai dahinya hampir menyentuh tanah.
“Terima kasih, Ka Chong Hoatsu hwesio tua yang manis! Kau telah menyatakan sendiri sekarang bahwa aku menang. Nah, memang aku menang dalam balapan ini dan karenanya juga aku menang dalam taruhan, bukan? Soal menang menggunakan akal bulus atau akal udang, itu sih tidak diadakan larangan dalam perjanjian tadi. Nah, selamat tinggal, Hoatsu.” Dengan langkah manja gadis ini lalu berjalan menghampiri Kun Hong.
Tiba-tiba ia mendengar angin berdesir di belakangnya. Cepat ia menengok dan membalikkan tubuh, siap menanti penyerangan gelap. Akan tetapi tidak ada apa-apa dan ia melihat Ka Chong Hoatsu berdiri sambil tertawa bergelak. Ia memandang kekanan kiri, semua orang yang berada disitu tertawa belaka. Loan Ki mengangkat kedua pundaknya dan membalikkan tubuh lagi terus berjalan menghampiri Kun Hong, menggandeng lengan pemuda buta itu dan berbisik,
“Mari kita pergi, Hong-ko.” Ditariknya pemuda itu.
“Ki-moi, kau tadi dipermainkan Ka Chong Hoatsu, buntalanmu di punggung apakah masih ada?” bisik Kun Hong.
Loan Ki terkejut, cepat meraba punggung dan……. ternyata mahkota kuno yang berada di buntalan itu telah lenyap! Ia cepat membalikkan tubuhnya memandang. Eh, kiranya mahkota itu kini sudah berada di tangan kiri Ka Chong Hoatsu yang masih tertawa-tawa.
“Hwesio tua, kau curi benda itu dari buntalanku, Ya?” Loan Ki membentak sambil melotot.
Ka Chong Hoatsu makin gembira tertawa.
“Ha-ha-ha, pinceng takkan melanggar janji nona cilik, tapi perlu membuktikan bahwa pinceng jauh lebih cepat daripadamu, sehingga benda ini kuambil tanpa kau dapat tahu atau merasa. Kedua kalinya, benda ini kami tahan disini sebagai undangan kepada ayahmu.”
“Bagus! Ayah pasti akan datang untuk merampasnya dari tanganmu, hwesio sombong!”
Setelah berkata demikian, Loan Ki memperlihatkan muka marah dan menarik Kun Hong pergi dari situ, menuju ke pantai yang kini sudah ia ketahui jalannya. Setelah pergi jauh dan tidak terdengar lagi suara mereka di belakang, Loan Ki berkata lirih,
“Hayaaaa, sungguh berbahaya! Baiknya aku mendapat akal dan bisa menang berlomba lari”
“Kau memang cerdik, nakal dan……. aneh…….” kata Kun Hong.
“Kalau tidak menggunakan kecerdikan, mana bisa kita keluar dari tempat ini? He, Hong-ko, kau sudah kenal pemuda baju putih yang gagah tadi? Wah, dia kelihatan lihai sekali, ya? Dan dia telah menolongmu.”
Kun Hong tersenyum. Terbayang dalam benaknya wajah Bun Wan yang memang gagah, dan terbayang pula wajah Cui Bi, maka bangkitlah perasaan bangga dan terharu, juga sedih. Cui Bi sudah mempunyai tunangan segagah Bun Wan, kenapa memberatkan dia? Padahal wajah dan bentuk tubuh Bun Wan benar-benar dapat menjatuhkan hati setiap orang wanita, dan buktinya Loan Ki gadis lincah yang berhati angkuh ini sekali berjumpa terus memuji-muji.
“Dia putera tunggal ketua Kun-lun-pai, tentu saja gagah dan lihai.”
Hening sejenak. Kun Hong heran, merasa betapa gadis di sebelahnya yang menggandeng tangannya ini agaknya berpikir dan menimbang-nimbang, entah apa yang dipikirkannya.
“Tapi aku tidak suka kepadanya, Hong-ko,” katanya tiba-tiba.
“Heee? Apa maksudmu? Kenapa tidak suka?” tanya Kun Hong heran karena pertanyaan yang tiba-tiba itu memang tak diduganya sama sekali, tadi memuji sekarang tidak suka. Bagaimana ini?
“Aku malah benci padanya! Dia tadi datang-datang memakimu sebagai seorang pemuda hidung belang yang suka merayu hati wanita. Sungguhpun pernyataan itu memang betul!”
“Eh, kau juga menganggap aku begitu? Tidak betul itu…….”
“Sudahlah, kau memang hidung belang! Jangan bantah lagi. Kulihat tadi gadis cantik jelita puteri Ching-toanio main mata dengan orang she Bun dari Kun-lun-pai itu. Hemmm, memang cantik jelita sekali Hui Siang itu, Hong-ko, cantik seperti bidadari. Heran aku mengapa kau tidak jatuh hati kepadanya, sebaliknya malah tergila-gila kepada Hui Kauw yang buruk rupa.”
Kun Hong menarik napas panjang.
“Aku tidak tergila-gila kepada siapapun juga, Ki-moi……. kau tidak tahu…….”
Tiba-tiba Loan Ki berhenti melangkah dan Kun Hong juga terkejut ketika mendengar suara mendesis-desis, dan mencium bau yang amis. Ular! Banyak sekali ular menggeleser datang dari empat penjuru dan sebentar saja mereka terkurung ular yang amat banyak.
040
Postingan populer dari blog ini
RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 06 JILID 07 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44 JILID 45 JILID 46 JILID 47 JILID 48 JILID 49 JILID 50 JILID 51 JILID 52 JILID 53 JILID 54 JILID 55 JILID 56 JILID 57 JILID 58 JILID 59 JILID 60 JILID 61 JILID 62 JILID 63 JILID 64 JILID 65 JILID 66 JILID 67 JILID 68 JILID 69 JILID 70 JILID 71 JILID 72 JILID 73 JILID 74 JILID 75 JILID 76 JILID 77 JILID 78 JILID 79 JILID 80 JILID 81 JILID 82 JILID 83 JILID 84 JILID 85 JILID 86 JILID 87 JILID 88 JILID 89 JILID 90 JILID 91 JILID 92 JILID 93 JILID 94 JILID 95 JILID 96 JILID 97 JILID 98 JILID 99 JILID 100 JILID 101 J
RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNY JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILI
JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNYA JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILID 090 JILID 091 JILID 092 JILID 093 JILID 094 JILID 095 JILID 096 JILID 097 JILID 098 JILI