PENDEKAR BUTA JILID 102

Loan Ki mengerutkan keningnya. Iapun bukan seorang bodoh. Ia tahu bahwa Kun Hong mempertahankan mahkota itu bukan semata-mata karena emasnya, melainkan karena rahasia yang dikandungnya itulah. Susah payah mahkota itu hendak disampaikan kepada Raja Muda Yung Lo, tentu saja bukan karena benda itu terbuat daripada emas berharga, melainkan karena hendak menyampaikan surat rahasia itulah. Sekarang surat itu hendak diambil, habis untuk apa mahkota itu dibawa-bawa ke utara? Apa kepentingannya lagi kalau suratnya sudah diambil?

“Siapa percaya omonganmu? Aku tidak mengenalmu!” jawabnya sambil memandang hwesio itu dengan sinar mata berapi, sedikitpun juga tidak memperlihatkan rasa takut.

“Ha-ha-ha, betul-betul anak harimau! Nona, pinceng adalah sahabat baik ayahmu, masa kau tidak percaya?” kata hwesio itu.

“Loan Ki, kau berikan mahkota itu untuk diperiksa oleh Bhok-losuhu.”

Loan Ki merengut dan menepuk-nepuk buntalan di punggungnya. 
“Ayah, aku mendapatkan ini dengan susah payah, dengan pedang dan dengan bahaya maut. Masa sekarang orang lain begini mudah hendak menerimanya dariku? Aku mendapatkannya mengandalkan kepandaian, masa orang lain tanpa mengandalkan kepandaian boleh mengambil begitu saja? Ayah, dimana kehormatan kita?”

“Omitohud, benar-benar cerdik dan gagah anakmu, Tan-sicu. Eh, saudara Lui-kong Thian Te Cu, maukah kau mewakili kita memperlihatkan sedikit kepandaian kepada Nona ini untuk memindahkan mahkota itu ke tangan kita?”

Lui-kong Thian Te Cu terkekeh ketawa, kemudian melangkah maju. Loan Ki memandang tajam. Kalau saja keadaannya tidak begitu menegangkan hati, tentu ia sudah tertawa geli melihat orang ini. Seorang kakek bertubuh pendek gemuk tetapi tangannya panjang sekali sampai hampir mencapai tanah, mukanya bulat seperti muka kanak-kanak. Mau apakah badut ini, pikirnya.

“Nona, kepandaian manusia tiada batasnya, tetapi kau hendak main-main, dengan kepandaian. Jangan katakan aku orang tua keterlaluan terhadapmu kalau terpaksa aku menggunakan kebodohan untuk mengambil mahkota itu dari punggungmu. Tan-sicu, maafkan aku, bukan maksudku menghina puterimu. Nona, awas!” 

Tiba-tiba tangannya yang kanan terulur panjang, tangan itu bergerak cepat dan tahu-tahu sudah melewati kepala Loan Ki dan melengkung hendak merenggut buntalan dari punggung!

Loan Ki terkejut sekali dan cepat ia menggerakkan kaki mengelak. Berkat ilmu langkah ajaib yang ia pelajari dari Kun Hong, dengan tiga kali gerakan kaki ia dapat berhasil membebaskan diri dari kurungan lengan panjang itu.

“Ho-ho-ho, kau hebat, Nona!” kata Thian Te Cu yang kini tidak berani memandang rendah lagi, tubuhnya berkelebat dan bagaikan seekor burung menyambar-nyambar, dia berusaha merenggut buntalan dari punggung Loan Ki.

“Jangan kurang ajar!” tiba-tiba Nagai Ici membentak dan sekali dia menggerakkan kedua tangannya, dia sudah berhasil menangkap kakek itu dan dilain saat kakek itu sudah terlempar ke udara oleh ilmu gulatnya.

Hebat kejadian ini, sampai-sampai membuat Bhok Hwesio, Tan Beng Kui dan Gui Hwa melongo saking kaget dan herannya, mengira bahwa pemuda teman Loan Ki itu sedemikian saktinya sehingga Thian Te Cu yang demikian lihai itu dalam segebrakan saja dapat dilempar ke udara! 

Padahal kejadian itu bisa timbul karena Thian Te Cu terlalu memandang rendah kepada pemuda ini dan tidak mengenal keanehan ilmu gulat Jepang sehingga tanpa dapat dia pertahankan lagi, kakek gemuk pendek ini melayang ke udara seperti sebuah peluru kendali. 

Akan tetapi segera Thian Te Cu dapat menguasai kekagetannya dan dengan cekatan dia dapat melayang turun kembali lalu tiba-tiba dia menyerang Nagai Ici. Pemuda Jepang ini karena marah hendak melindungi Loan Ki, menyambut serangan si kakek dengan kepalan tangannya. 

Akan tetapi kali ini dia kaget, karena begitu kepalan tangannya bertemu dengan telapak tangan kakek itu, dia berteriak kesakitan dan menarik kembali tangannya yang sudah menjadi bengkak. Sambil meringis kesakitan Nagai Ici memegangi kepalan tangan kiri itu dengan tangan kanannya.

“Kakek jahat, berani kau melukai temanku!” 

Loan Ki berseru dan kini ia sudah mencabut pedang, langsung ia menerjang Thian Te Cu. Namun kakek yang lihai ini sudah bersiap sekarang. Dengan gerakan aneh dia miringkan tubuhnya, tangan kirinya diulur mencengkeram tangan Loan Ki yang memegang pedang. 





Gadis itu kaget, cepat menarik kembali pedangnya, akan tetapi tiba-tiba ia merasa betapa buntalan di punggungnya sudah direnggut orang. Ketika ia menoleh, kiranya tangan kanan yang panjang dari Thian Te Cu sudah berhasil merampas buntalan itu. Kini kakek itu sambii terkekeh-kekeh menyerahkan mahkota kepada Bhok Hwesio dan melemparkan buntalan pakaian kembali kepada Loan Ki yang menyambutnya dengan uring-uringan.

“Bagaimana tanganmu?” Ia menghampiri Nagai Ici yang memperlihatkan kepalan tangan kiri yang membengkak.

Loan Ki mengurut pergelangan lengan itu beberapa kali dan sebentar saja bengkak itu mengempis. Memang tangan Nagai Ici itu tidak terluka, hanya keseleo saja ketika bertemu dengan telapak tangan Thian Te Cu yang mengandung tenaga Iweekang amat kuat.

Diam-diam Sin-kiam-eng menyaksikan semua peristiwa itu dan jantungnya serasa tertikam ketika dia menyaksikan sikap mesra Loan Ki terhadap si pemuda dan diapun terharu menyaksikan betapa pemuda aneh itu tadi tanpa mengukur kepandaian sendiri sudah berani membela Loan Ki mati-matian.

Sementara itu, Bhok Hwesio sudah mulai memeriksa mahkota. Diputar-putar kesana kemari, lalu diperiksa sebelah dalamnya. Dipencet sana, pencet sini, akan tetapi tidak dapat dia menemukan sesuatu. Dengan kening berkerut hwesio itu lalu menggunakan tenaga tangannya yang luar biasa, sekali dia berseru keras, kedua tamgannya sudah mematahkan mahkota menjadi dua! Dia memeriksa secara teliti dan tampaklah olehnya tempat rahasia di dalam mahkota yang sudah kosong!

“Omitohud……. orang muda hendak mengakali orang tua!” 

Dia melemparkan potongan mahkota keatas tanah dan kini memandang kepada Loan Ki dengan muka merah. 

“Nona, didalam mahkota ini terdapat surat rahasianya, sekarang ternyata sudah kosong. Harap kau jangan main-main dan lekas serahkan surat itu kepada pinceng.”

Loan Ki sendiri heran dan penasaran ketika melihat bahwa mahkota itu ternyata tidak mengandung sesuatu. Hampir saja ia melakukan perjalanan jauh dengan sia-sia. Apa artinya ia membawa benda itu jauh-jauh ke utara kalau ternyata tidak ada apa-apanya? Siapakah yang telah mengambil isi mahkota itu?

“Aku tidak tahu tentang surat-surat segala,” katanya. 

Bhok Hwesio menoleh kepada It-to-kiam Gui Hwa. 
“It-to-kiam lihiap, sepantasnya kau seorang wanita yang menggeledah Nona ini. Tentu surat itu telah diambil dan disimpannya.”

It-to-kiam Gui Hwa adalah seorang wanita berusia lima puluh tahun lebih, tubuhnya kecil kurus, gerak-geriknya gesit. Ia melangkah maju dan siap menggeledah tubuh Loan Ki. 

Nona ini mengerutkan keningnya. 
“Jangan sentuh aku!” bentaknya.

“Nona cilik, harap kau jangan mempermainkan kami orang-orang tua. Serahkan saja surat itu daripada aku terpaksa harus menggunakan kekerasan.” Gui Hwa mengancam.

“Ayah, apakah kau membiarkan saja anakmu dihina orang?” Loan Ki menjerit sambil memandang ayahnya.

Sin-kiam-eng Tan Beng Kui bingung. Tentu saja diapun tidak senang melihat puterinya didesak begitu rupa dan diperlakukan dengan cara menghina. 

“Loan Ki, kalau kau memang mengambil surat itu, kau serahkan saja, jangan kau mencampuri urusan negara ini,” katanya dengan suara bengis dan berpengaruh.

“Aku tidak tahu menahu tentang surat, Ayah,” kata Loan Ki, suaranya tegas karena memang ia tidak membohong.

“Lebih baik kau berterus terang, Nona. Jangan main-main!” It-to-kiam Gui Hwa mengancam.

“Nenek buruk, aku sudah berterus terang, tidak tahu-menahu tentang surat itu. Kau mau apa?” bentak Loan Ki.

“Baik, kalau begitu jangan salahkan aku kalau pedangku akan merobek-robek bajumu dan menelanjangimu disini.” Gui Hwa berseru marah sambil mencabut pedangnya yang tipis dan panjang.

“Srattttt!” 

Loan Ki juga mencabut pedangnya dan berkata kepada ayahnya dengan suara getir, 
“Ayah, kalau kau membiarkan anakmu dihina orang, biarlah sekarang pedangku yang akan melindungiku, lihatlah betapa anakmu tidak akan membiarkan begitu saja dihina orang!”

Tan Beng Kui bingung, akan tetapi tidak tahu harus berbuat apa. Sementara itu, Gui Hwa sudah menerjang maju menggerakkan pedangnya dengan maksud merobek-robek pakaian Loan Ki agar surat yang disembunyikan dapat dirampas, karena kalau digeledah begitu saja gadis ini tentu tidak akan mau menyerah. 

Loan Ki dengan marah juga menggerakkan pedang sehingga dua orang wanita tua dan muda ini sudah bertempur dengan hebat, seru dan mati-matian.

“Jangan hina Loan Ki!” 

Nagai Ici yang sudah sembuh tangan kirinya, ternyata sudah mencabut pedang samurainya dan kini maju hendak membantu Loan Ki. Sikapnya garang dan bersemangat seperti seekor singa muda.

“Ho-ho-ho, pemuda sombong, jangan bergerak!” 

Lui-kong Thian Te Cu melompat ke depan, menghadang gerakan Nagai Ici dan diapun sudah mengeluarkan senjatanya yang aneh, yaitu sebatang tanduk seperti tanduk rusa yang panjangnya kurang lebih empat kaki, runcing dan bengkok-bengkok. Dengan gerakan cepat dia mendahului pemuda ini, mengirim pukulan dengan senjata aneh ini kearah pundak kanan untuk membuat tangan pemuda itu lumpuh. Diapun sama sekali tidak berniat membunuh pemuda ini, hanya untuk merobohkan dan mengalahkannya.

“Trrraaanggg……. singgg……. Hiaaaaattttt!!” kaget bukan main Lui-kong Thian Te Cu. 

Seperti juga tadi, kali ini dia dibikin kaget oleh gerakan aneh pemuda ini karena begitu menangkis, pedang panjang itu langsung saja menyambarnya dengan kecepatan luar biasa dan tenaga yang amat kuat. Hampir saja dia celaka oleh serangan balasan yang otomatis dari Nagai Ici ini, karena kalau dia tidak cepat-cepat membuang diri ke belakang dan lehernya terkena sambaran pedang panjang itu, tentu sekarang dia sudah menjadi setan tanpa kepala.

“Wah-wah, ilmu pedang ganas seperti iblis mengamuk! Kau ini orang apakah?” bentak kakek itu yang cepat menerjang kembali, kini dengan hati-hati sekali mainkan senjatanya yang aneh. 

Karena memang tingkat kepandaian kakek ini jauh lebih tinggi daripada Nagai Ici, sebentar saja jago muda Jepang itu sudah menjadi repot sekali, terpaksa menggerakkan pedang samurainya kesana sini untuk menangkis tanduk rusa yang lagaknya sudah berubah menjadi puluhan batang banyaknya, mengurung dirinya dari segala penjuru.

Juga Loan Ki amat repot menghadapi pedang It-to-kiam Gui Hwa. Nenek ini adalah seorang tokoh Kun-lun-pai dan dalam hal ilmu pedang, kepandaiannya malah lebih matang daripada kepandaian Bun Wan. Tentu saja tingkatnya jauh lebih tinggi daripada Loan Ki dan dengan mudah saja nenek ini mempermainkan Loan Ki yang terpaksa mempergunakan langkah ajaib untuk menyelamatkan diri. Namun, mana bisa orang bertempur hanya main tangkis dan kelit saja? Kalau diteruskan, akhirnya ia tentu akan celaka, akan terobek bajunya dan mengalami hinaan yang hebat.

Melihat keadaan itu, Tan Beng Kui menjadi lemas kaki tangannya, jantungnya berdebar dan kerongkongannya terasa kering. Tiba-tiba terdengar suara keras dan……. pedang samurai di tangan Nagai Ici sudah terlempar keatas dan jatuh menancap tanah, sedangkan pangkal lengan kanan pemuda itu sendiri sudah terluka oleh pukulan senjata Thian Te Cu. Pukulan keras yang membuat lengan itu serasa lumpuh dan pemuda ini hanya berdiri memegangi lengannya, tidak dapat berdaya lagi menghadapi kakek yang lihai itu. Thian Te Cu tertawa-tawa bergelak atas kemenangannya.







Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)