PENDEKAR BUTA JILID 112
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
Kepalanya pening sekali, namun Kong Bu masih dapat melompat ke tempat dimana isterinya roboh. Dengan tubuhnya dia melindungi Li Eng, siap mengadu nyawa dengan kakek sakti itu. Hek Lojin meringis, terkekeh-kekeh dan menghampiri dua orang itu sambil menyeret tongkatnya.
Tiba-tiba terdengar suara melengking panjang, suara seperti orang menangis terdengar dari jauh. Mendengar ini, Kong Bu kaget dan juga girang, lalu dia mengerahkan khikang dan mengeluarkan teriakan panjang pula yang bergema di seluruh hutan.
Kakek itu berhenti, menengadah lalu tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-heh-heh-heh, itu si tua bangka Song-bun-kwi agaknya! Ha-ha-ha, biar dia datang sekalian kubereskan!”
Bayangan putih berkelebat dan benar saja disitu telah berdiri Song-bun-kwi Kwee Lun dengan sikapnya yang garang! Melihat betapa kedua suami isteri itu rebah di bawah pohon, kemarahannya memuncak. Dengan sepasang mata seperti berapi-api dia memandang kakek hitam itu lalu memaki,
“Keparat jahanam si tua bangka Hek Lojin! Jadi kau belum mampus? Berpuluh tahun kucari, kau mengumpet bersembunyi. Sekarang sudah tua bangka mau mampus berani muncul mengantarkan nyawa! Mengapa kau tidak langsung mencariku, tua sama tua, melainkan mengganggu anak-anak muda? Tidak tahu malu!”
“Heh-heh-heh, Song-bun-kwi, bagus sekali kau sendiri datang, kau mbahnya (kakeknya) pemberontak! Kau mengajar anak-anak menjadi pemberontak, ya? Dasar iblis! Bagus kau sudah datang, dulu kau pernah kalah tetapi belum mampus, biar sekarang kutamatkan riwayatmu!”
Dua orang kakek itu sudah mulai bertempur sebelum ucapan ini habis. Song-bun-kwi sudah mengeluarkan suling dan pedangnya, menerjang dengan ilmu pedangnya yang paling dia andalkan, yaitu Yang-sin Kiam-sut, sedangkan sulingnya juga mainkan ilmu silatnya sendiri yang luar biasa.
Hek Lojin maklum bahwa lawannya bukanlah orang sembarangan, maklum pula bahwa semenjak kekalahannya puluhan tahun yang lalu, tentu Song-bun-kwi telah mempersiapkan diri dan telah mendapatkan ilmu-ilmu baru. Begitu merasai hawa panas dari pedang kakek Song-bun-kwi, dia terkejut dan cepat dia memutar tongkatnya.
Sebaliknya Song-bun-kwi juga cukup mengenal Hek Lojin. Empat puluh tahun yang lalu memang dia pernah bertemu dengan kakek hitam itu dan dalam pertandingan yang hebat, dia telah dilukai dan terpaksa dia mengaku kalah.
Semenjak itu, tidak pernah lagi dia bertemu dengan Hek Lojin yang memang mengasingkan diri karena terlalu banyak musuh. Sekarang, tidak disangka-sangka dia bertemu dengan musuh lamanya, tentu saja dia lalu ngepia (berusaha sungguh-sungguh) untuk membalas kekalahannya puluhan tahun yang lalu.
Sesungguhnya Hek Lojin masih belasan tahun lebih tua daripada Song-bun-kwi, termasuk tokoh lama yang sudah tua sekali. Akan tetapi karena kakek ini memang luar biasa dan hidup dialam terbuka jauh daripada dunia ramai, agaknya dia memiliki kekuatan yang lebih daripada manusia biasa. Selain tenaganya tidak normal, juga kepandaiannya aneh dan bersifat liar dan ganas.
Memang dia mempunyai banyak ilmu silat yang dikenal di dunia kang-ouw sebagai ilmu-ilmu silat kelas tinggi, seperti yang dia turunkan kepada The Sun. Akan tetapi di samping ini, dia masih memiliki ilmu berkelahi yang hanya dia miliki sendiri dan yang jarang dia pergunakan di dalam pertempuran dan tidak pernah dia turunkan kepada siapapun juga. Ilmu ini adalah ilmu berkelahi yang menyimpang daripada ilmu silat yang timbul dari perasaan dan naluri, seperti ilmu berkelahi yang dimiliki para binatang buas di dalam hutan.
Oleh karena itu, tadi ketika dia memutar-mutar tongkatnya secara liar, Kong Bu dan Li Eng yang tidak biasa menghadapi ilmu berkelahi seperti ini menjadi kebingungan dan mudah dikalahkan. Sekarang, menghadapi Song-bun-kwi, kakek hitam ini berlaku amat hati-hati dan karenanya dia malah tidak mau ngawur seperti tadi, melainkan menggunakan jurus-jurus ilmu silatnya yang beraneka ragam dan rata-rata dari tingkat tinggi itu.
Hebat pertandingan ini. Tenaga Iwee-kang Hek Lojin sudah mencapai tingkat yang sukar diukur tingginya. Akan tetapi kali ini dia menemukan tandingan, karena Song-bun-kwi adalah seorang kakek yang dijuluki iblis dan nama julukan Song-bun-kwi saja artinya Setan Berkabung!
Biarpun Song-bun-kwi diam-diam harus mengakui bahwa dia masih belum dapat menandingi tenaga kakek tenaga dalam kakek hitam itu, namun setidaknya tingkatnya tidak kalah jauh seperti ketika tadi kakek itu menghadapi Kong Bu dan Li Eng.
Sebetulnya Hek Lojin adalah seorang ahli agama, oleh karena itulah maka tadi Kong Bu dan Li Eng mendengar nyanyian-nyanyian agama yang merupakan ayat-ayat suci daripada Agama Buddha dan Agama To. Akan tetapi, agama-agama pada waktu itu banyak disalah gunakan orang. Banyaklah kaum persilatan yang mempelajari agama bukan karena pelajaran hidupnya yang baik, bukan karena untuk mencari jalan pendekatan dengan Tuhan, melainkan mereka ini bermaksud untuk mengambil bagian-bagian mistik dan gaib daripada agama itu.
Oleh karena inilah maka timbul banyak aliran yang mempergunakan agama itu untuk mempelajari segala macam ilmu gaib yang mereka gabungkan dengan ilmu silat sehingga terkenallah ilmu-ilmu silat yang disebut ilmu silat hitam. Demikian pula, tenaga mujijat yang dimiliki kakek hitam itu bukan semata-mata tenaga sinkang murni dari dalam tubuh yang memang dimiliki oleh semua orang, akan tetapi juga diperkuat oleh tenaga dari ilmu hitam yang dia dapatkan dengan cara bermacam-macam dan amat mengerikan.
Kong Bu dan Li Eng melihat pertempuran ini dengan hati khawatir. Apalagi setelah pertandingan itu berlangsung seratus jurus lebih, mereka merasa gelisah sekali karena tampak oleh mereka betapa keadaan Song-bun-kwi mulai terdesak.
Kong Bu ingin membantu kakeknya namun tidak mungkin dia dapat bertempur dengan tangan kiri patah tulangnya dan dadanya masih sesak oleh tenaga dorongan kakek itu. Juga Li Eng sudah terluka, pahanya terkena tendangan dan terasa sakit sekali.
Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan hebat dan suara nyaring beradunya senjata-senjata kedua kakek itu. Kiranya mereka telah menggunakan seluruh tenaga untuk mengadu senjata. Akibatnya, suling remuk pedang patah, akan tetapi tongkat hitam itupun terlempar jatuh sampai beberapa meter jauhnya!
Kedua orang kakek itu tertawa saling mengejek, lalu pertandingan dilanjutkan dengan dua pasang tangan kosong. Akan tetapi, sambaran angin pukulan kedua fihak membuktikan bahwa pertandingan tangan kosong ini tidak kalah hebatnya daripada pertandingan dengan senjata tadi. Setiap pukulan yang dilancarkan adalah pukulan maut yang mengandung hawa pukulan dahsyat. Angin pukulan bersiutan, membuat daun-daun pohon di sekelilingnya rontok dan debu berhamburan dari kedua kaki mereka.
Dalam pertempuran ini, lebih-lebih lagi Song-bun-kwi terdesak. Dengan penggunaan senjata, dia masih dapat mengimbangi lawannya, akan tetapi pertandingan dengan tangan kosong semata-mata mengandalkan kecepatan gerak dan besarnya tenaga dalam.
Dalam kecepatan, Song-bun-kwi sebanding dengan lawannya, namun dalam hal tenaga, karena lawannya mempunyai tenaga mujijat, dia terpaksa harus mengakui bahwa tiap kali tangannya bertemu dengan tangan lawan, jantungnya terasa sakit seperti ditusuk!
Namun, kakek ini tidak akan mendapat julukan iblis Song-bun-kwi kalau dia mau mengaku kalah. Dengan semangat menyala-nyala, Song-bun-kwi nekat terus menerjang dengan pengerahan seluruh tenaga dan gerakan-gerakannya makin cepat saja.
Kakek hitam tertawa-tawa melayani dan dalam sekejap mata kedua kakek itu lenyap terbungkus debu yang mengebul dari bawah. Hebat bukan main pertarungan ini, seperti pergumulan dua ekor naga, atau perkelahian dua ekor harimau buas, pantang menyerah, pantang undur.
Kong Bu dan Li Eng makin khawatir, akan tetapi keduanya tidak berdaya karena sebagai ahli-ahli silat tinggi, maklumlah mereka bahwa sekali mereka maju belum tentu mereka dapat menguntungkan Song-bun-kwi akan tetapi yang pasti mereka akan celaka. Hawa pukulan dengan tenaga dahsyat yang menyambar di sekeliling dua orang kakek itu tidak terlawan oleh mereka.
Tiba-tiba kedua orang kakek itu berhenti bersilat dan tubuh mereka mencelat ke belakang, masing-masing dua meter lebih, berdiri saling pandang dengan muka mengerikan.
Hek Lojin tidak tertawa lagi, mukanya yang hitam itu berkilat-kilat penuh peluh, mulutnya menyeringai, matanya berseri-seri. Song-bun-kwi juga penuh keringat mukanya, agak pucat dia, matanya berapi-api penuh kemarahan. Kemudian keduanya melompat ke depan, saling terjang dan terdengar suara berdebugan dua tiga kali dan akibatnya tubuh mereka terlempar ke belakang lagi.
Kembali mereka saling terjang dan terdengar pukulan-pukulan yang mengakibatkan mereka terlempar lagi. Adegan seperti ini terulang sampai empat lima kali, muka Song-bun-kwi makin pucat, muka Hek Lojin makin penuh keringat.
Tiba-tiba kakek hitam itu bergelak.
“Ha-ha-ha-heh-heh-heh, Song-bun-kwi tua bangka iblis! Kau benar-benar berkepala batu, sudah kalah tidak mau mengakui kekalahan. Ha-ha-ha, sudah puas hatiku dengan perkelahian hari ini, aku sudah lelah. Kalau kau masih dapat hidup, lain hari kita lanjutkan, kalau kau mampus karena perkelahian ini, mampuslah dan rasakan hukuman neraka. Ha-ha-ha!”
Kakek hitam itu melangkah mundur ke tempat tongkatnya, mengambil senjata itu dan menyeretnya pergi dari situ. Masih terdengar suara ketawanya yang bergema dari jauh.
Song-bung-kwi masih berdiri tegak dengan kedua kaki dipentang seperti tadi, napasnya tersengal-sengal, mukanya pucat dan hidungnya, kembang-kempis. Tiba-tiba dia menekan ulu hatinya dan kakek kosen ini muntah-muntah. Darah segar menyembur keluar dari mulutnya.
“Kakek……!!” Kong Bu melompat menghampiri, Li Eng juga terpincang-pincang lari menghampiri.
Seakan-akan kehabisan tenaga, Song-bun-kwi sudah jatuh terduduk. Dia berusaha menghapus bibirnya dengan ujung lengan baju dan terdengar dia bergumam perlahan,
“……. hebat sekali……. Hek Lojin iblis…….”
113
Postingan populer dari blog ini
RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 06 JILID 07 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44 JILID 45 JILID 46 JILID 47 JILID 48 JILID 49 JILID 50 JILID 51 JILID 52 JILID 53 JILID 54 JILID 55 JILID 56 JILID 57 JILID 58 JILID 59 JILID 60 JILID 61 JILID 62 JILID 63 JILID 64 JILID 65 JILID 66 JILID 67 JILID 68 JILID 69 JILID 70 JILID 71 JILID 72 JILID 73 JILID 74 JILID 75 JILID 76 JILID 77 JILID 78 JILID 79 JILID 80 JILID 81 JILID 82 JILID 83 JILID 84 JILID 85 JILID 86 JILID 87 JILID 88 JILID 89 JILID 90 JILID 91 JILID 92 JILID 93 JILID 94 JILID 95 JILID 96 JILID 97 JILID 98 JILID 99 JILID 100 JILID 101 J
RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNY JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILI
JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNYA JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILID 090 JILID 091 JILID 092 JILID 093 JILID 094 JILID 095 JILID 096 JILID 097 JILID 098 JILI