RAJA PEDANG JILID 126

“Hemmm, Song-bun-kwi Kwee Lun. Kiranya kau yang muncul ini! Pantas saja begitu kau muncul terjadi kekacauan disini. Ketahuilah, tidak sekali-kali kami melindungi Setan Obat, hanya karena dia pada saat ini menjadi tamuku untuk menghadiri perebutan gelar Raja Pedang,maka terpaksa sebagai tuan rumah aku tidak mengijinkan orang mengganggu tamuku. Song-bun-kwi, apakah kedatanganmu hanya untuk mengejar Yok-mo? Kalau begitu halnya, harap kau turun gunung lagi dan menanti saja Yok-mo di bawah gunung. Kalau kau juga menghadiri perebutan gelar, kaupun menjadi tamuku dan silakan kau duduk!”

“Ha-ha-ha, Bu-tek Kiam-ong, setelah menjadi Raja Pedang kau ternyata sombong sekali. Kau tidak bedanya dengan orang-orang yang begitu menduduki tempat tinggi lalu lupa kepada asalnya, berubah menjadi manusia sombong yang mengira diri sendiri paling pandai, paling besar dan paling berkuasa. Kedatanganku bersama muridku ini memang hendak menangkap Yok-mo dan sekalian hendak merebut gelar Raja Pedang. Bi Goat, kau lanjutkan permainanmu, kau coba ilmu anak Raja Pedang itu!”

Bi Goat menggerakkan pedangnya, demikian pula Li Cu yang sudah bersiap sedia. Gerakan Pedang Li Cu amat indahnya seperti seorang bidadari kahyangan sedang menari. Sebaliknya, gerakan Bi Goat cepat dan keras, mendasarkan gerakannya pada kekuatan dan kekerasan serta kecepatan. 

Segera dua orang gadis ini sudah saling serang. Terdengar bunyi tang-ting-tang-ting dan bunga api berhamburan. Diam-diam kedua orang gadis ini kaget dan harus mengakui kelihaian lawan masing-masing. 

Sementara itu, Song-bun-kwi dengan penuh perhatian menonton puteri atau muridnya mainkan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-sut menghadapi ilmu pedang lawan yang benar-benar amat hebat dan indah itu. Juga Cia Hui Gan sambil bertolak pinggang menonton dengan kagum. Baru kali ini semenjak dia menjadi Raja Pedang dia melihat ilmu pedang yang tak dikenalnya dan hebat pula, malah banyak sekali tanda-tanda bahwa ilmu pedang gadis gagu itu mempunyai sumber yang sama dengan ilmu pedangnya sendiri. Karena ini dia memandang penuh perhatian, penuh keheranan dan penuh penyelidikan.

“Heeei, Song-bun-kwi iblis tua bangka, kau mau borong sendiri gelar Raja Pedang?” begitu kumandang suara lenyap, muncul orangnya. 

Seorang nenek yang masih kelihatan cantik genit, seorang kakek bertangan baju panjang dan tertawa-tawa nakal, diikuti oleh seorang wanita cantik berpakaian indah pesolek dan seorang laki-laki muda bermuka pucat. Mereka ini adalah Hek-hwa Kui-bo, Siauw ong-kwi, Kim-thouw Thian-li dan Giam Kin.

Melihat munculnya Hek-hwa Kui-bo, cepat sekali Song-bun-kwi memerintah puterinya, 
“Bi Goat, mundur kau” 

Bi Goat cepat menarik kembali pedangnya, melompat dan berdiri di sebelah kiri ayahnya. Sementara itu Cia Hui Gan sibuk menerima para tamu karena di belakang empat orang ini muncul pula tamu-tamu lain. Makin tinggi matahari naik, makin banyak para tamu datang di tempat itu. 

Partai-partai persilatan besar hadir pula, diwakili beberapa orang jagonya, ada pula yang membawa pengikut sampai puluhan orang anak murid yang perlunya untuk memberi suara dan menambah semangat. Tampak hadir wakil-wakil dari partai Siauw-lim-pai, dari Go-bi-pai, Thai-san-pai, dan lain-lain partai. 

Bahkan ketua Hoa-san-pai, Lian Bu Tojin dan ketua Kun-lun-pai Pek Gan Siansu, berkenan hadir juga. Dua orang kakek ini sekarang telah menjadi anggauta-anggauta pejuang yang gigih, akan tetapi sebagai tokoh-tokoh kang-ouw tentu saja mereka tidak mau melewatkan kesempatan ini, menyaksikan perebutan gelar Raja Pedang. 

Yang ikut dengan Lian Bu Tojin hanyalah Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok. Adapun Pek Gan Siansu diikuti oleh Bun Lim Kwi. Semua pendatang ini terheran-heran melihat adanya Lee Giok di fihak tuan rumah, akan tetapi oleh karena disitu terdapat banyak tamu, pula karena kedatangan mereka hanya berhubungan dengan akan diadakannya perebutan gelar, maka mereka tidak mendapat kesempatan membuka mulut. Adapun Lee Giok tanpa ragu-ragu lagi menyambut semua orang penuh penghormatan di samping Li Cu.

Yang kegirangan adalah Giam Kin. Kali ini tidak saja dia dapat melihat gadis pujaannya, Thio Bwee, akan tetapi juga mendapat kesempatan mengagumi sekian banyaknya gadis-gadis cantik jelita sehingga berkali-kali mulutnya berkemak-kemik, dan matanya diobral kesana kemari sehingga kadang-kadang dia ditempur Oleh pandang mata Kim-thouw Thian Li.

Banyak benar tamu di Thai-san kali ini. Muncul pula disitu Ban-tok-sim Giam Kong, hwesio Tibet hitam tinggi besar yang memegang tongkat hwesio besar dan berat. Hwesio ini biarpun datang dari Tibet, akan tetapi sudah amat terkenal di daratan Tiongkok karena diapun seorang tokoh yang anti Mongol dan ilmu silatnya hebat. Juga muridnya, Koai Atong, amat terkenal, akan tetapi anehnya pada saat itu Koai Atong tidak kelihatan hadir. 

Selain kakek ini, hadir pula Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang bersama muridnya, Thio Eng. Begitu memasuki ruangan dan bertemu pandang dengan Bun Lim Kwi yang agaknya memang dicari-cari dengan sudut matanya, wajah gadis ini menjadi kemerahan, begitu pula wajah Lim Kwi. 





Hadirnya Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang memperlengkap para tokoh besar disitu karena sekarang hadirlah semua tokoh nomor satu. Dari barat, Song-bun-kwi. Tokoh nomor satu dari timur, Swi Lek Hosiang. Tokoh nomor satu dari utara, Siauw-ong-kwi, dan tokoh nomor satu dari selatan, Hek-hwa Kui-bo!

Melihat sekian banyaknya tokoh besar yang hadir, diam-diam Cia Hui Gan terkejut dan bangga. Kali ini jauh lebih banyak jago-jago datang dari empat penjuru untuk memperebutkan gelar Raja Pedang. Untuk melawan mereka mengandalkan kepandaian, dia merasa amat berat karena maklum bahwa tingkat mereka itu tidak berada di sebelah bawah tingkatnya sendiri. 

Akan tetapi kalau yang dimaksud ini pertandingan ilmu pedang, dia boleh merasa yakin akan menang. Ilmu-ilmu pedang di dunia persilatan telah dikenalnya semua dan kiranya tidak akan ada yang dapat menangkan ilmu pedangnya, Sian-li Kiam-sut. Hanya agak gelisah juga hatinya kalau dia teringat akan gerakan ilmu pedang yang dimainkan gadis gagu tadi.

Setelah rombongan tamu berhenti, Cia Hui Gan berdiri dan mengucapkan pidato sambutan singkat. la menghaturkan selamat datang kepada semua tamu lalu ditambahkannya keterangan tentang pertandingan. 

“Siauwte sudah terlalu tua untuk main gila memperebutkan gelar kosong Raja Pedang. Oleh karena itu siauwte hendak memberi kesempatan kepada yang muda-muda dan yang masih haus akan gelar itu. Siauwte mengadakan tiga macam peraturan. Para peserta harus mempelihatkan ilmu pedangnya lebih dulu untuk dinilai, kemudian siauw-te mengajukan jago yang sekiranya akan dapat mengalahkannya. Di fihak kami ada tiga tingkat, yaitu pertama tingkat terendah adalah murid-murid siauwte yang juga menjadi pelayan di Thai-san, jumlahnya dua belas orang. Peserta yang siauwte anggap masih rendah tingkatnya, akan dilayani oleh dua belas orang pelayan itu. Kalau dia menang, barulah dia akan berhadapan dengan murid siauwte yang termuda, yaitu Lee Giok. Setelah dapat memenangkan Lee Giok, barulah akan berhadapan dengan anak siauwte sendiri Cia Li Cu. Sayang bahwa murid kepala siauwte tidak hadir disini karena sedang bertugas. Jika ada peserta muda dapat mengalahkan Li Cu, kemudian mengalahkan murid kepala siauwte apabila dia datang, maka dia berhak menerima gelar Raja Pedang dari kami. Tentu saja para cianpwe boleh pula maju, dan tentu saja lawannya adalah siauwte sendiri.”

Ucapan ini jujur, singkat dan juga penuh tantangan sehingga membikin jerih hati beberapa orang yang hadir. Akan tetapi mereka yang merasa dirinya berkepandaian, menjadi penasaran juga. Cia Hui Gan tidak mempedulikan reaksi para tamunya, malah mempergunakan kesempatan itu untuk menyatakan maksud sesungguhnya daripada pertemuan itu.

“Cu-wi sekalian yang mulia. Memperebutkan gelar adalah perbuatan bodoh dan gelar adalah kosong melompong, tidak berjiwa. Apa artinya kita semua ini mempelajari kepandaian sampai berpuluh tahun? Apakah hanya berebutan gelar kosong belaka? Apa artinya kalau kepandaian kita tidak dipergunakan untuk membuat jasa terhadap tanah air? Cuwi sekalian, sekarang tanah air sedang terancam bahaya, perjuangan suci sedang bergolak, kalau kita tidak mempergunakan kepandaian untuk mengabdi pada nusa dan bangsa, alangkah kecewanya!”

“Cia Hui Gan! Urusan perebutan gelar jangan kau campur adukkan dengan urusan pemberontakan!” Hek-hwa Kui-bo mencela dengan suaranya yang nyaring dan galak.

Cia Hui Gan tersenyum. 
“Mengapa tidak? Selama kita masih menginjak tanah air, masih menghirup hawa udara tanah air, kita harus memperjuangkan kesuciannya. Begitu baru bisa disebut orang gagah.”

“Apa-apaan semua pidato kosong ini? Aku ingin melihat sampai dimana kehebatan Sian-li Kiam-sut dari Raja Pedang!” 

Orang yang berkata ini adalah seorang laki-laki berusia empat puluh tahunan yang bertubuh tinggi kurus, di tangan kanannya sudah memegang pedang yang tajam berkilau. Dia ini adalah Bhe Liong, seorang jago pedang anak murid Bu-tong-pai yang berwatak kasar dan mau menang sendiri. 

“Raja Pedang, kau boleh menilai permainan pedang Bu-tong-pai ini!” Pedangnya diputar cepat sampai mengeluarkan suara mengiung-ngiung.

Melihat beberapa jurus saja, Cia Hui Gan tersenyum lalu memberi tanda kepada dua belas orang pelayannya. 

“Kalian layani Bhe-taihiap ini.”

Bagaikan barisan yang diatur, dengan gerak lincah seperti kupu-kupu melayang-layang sehingga para pelayan yang beraneka warna pakaiannya ini kelihatan seperti penari-penari indah, sebentar saja orang she Bhe telah dikurung di tengah-tengah.

“Silakan, Bhe-taihiap,” seorang pelayan yang paling cantik berkata.

Bhe Liong tertegun, agak malu juga dikurung oleh gadis-gadis cantik itu yang ketika dekat telah menyiarkan ganda harum. Namun karena dia hendak memperlihatkan kepandaian dan kalau mungkin merebut gelar Raja Pedang, dia sudah memutar pedangnya dan berkata, 

“Hati-hati kalian!”

Ilmu pedang Bu-tong-pai memang boleh dibilang tinggi juga tingkatnya, dan ternyata ilmu pedang orang she Bhe ini tidak rendah. Akan tetapi, dia sekarang dikurung oleh Sian-li Kiam-tin (Barisan Pedang Bidadari), dua belas orang pelayan itu bergerak berbareng dan berlari-lari mengitari dirinya. Pedang di tangan dua belas orang pelayan itu silih berganti menyerangnya, kalau menangkis juga sekaligus ada empat pedang menangkisnya, maka biarpun Bhe Liong lebih kuat tenaganya dan lebih gesit gerakannya, dia sebentar saja sudah menjadi pening. 

Lewat tiga puluh jurus, permainannya kacau dan beberapa guratan pedang di lengannya membuat dia terpaksa melepaskan pedangnya, melompat keluar dari kalangan dan kembali ke rombongan Bu-tong-pai sambil berseru, 

“Lihai sekali. Aku terima kalah!”

Para tamu tertawa, akan tetapi ada pula yang memuji sifat orang she Bhe ini yang biarpun kasar namun jujur dan tidak malu-malu mengakui kekalahannya. Setelah orang she Bhe ini, maju lagi beberapa orang, ada yang dilayani oleh dua belas orang pelayan, ada pula yang dilayani oleh Lee Giok, tapi kesemuanya dikalahkan dengan mudah.

Kim-thouw Thian-li berbisik-bisik kepada Giam Kin. Pemuda muka pucat ini tertawa lalu meloncat maju menghadapi Lee Giok yang baru saja mengalahkan seorang jago dari Thai-san-pai dengan susah payah. Sambil menyeringai dan cengar-cengir Giam Kin berkata, 

“Nyonya Liong….. eh, Ji-enghiong….. eh, salah lagi, nona Lee Giok. Kiranya kau adalah murid dari Raja Pedang! Pantas saja kau berani banyak lagak di kota raja. Hemmm, kebetulan sekali kita bertemu disini, biarlah aku mencoba kepandaianmu!” 

Sambil berkata demikian, dia mencabut keluar sebatang pedang di tangan kanan dan sebatang suling di tangan kiri.

Angin bertiup dan Cia Hui Gan sudah berdiri di depan pemuda itu dengan sikap keren. 
“Giam Kin, aku tahu kau murid Siauw-ong-kwi! Akan tetapi kalau kedatanganmu hanya untuk mengacau, aku orang she Cia tidak takut untuk mengusirmu. Hanya yang ingin berlumba ilmu pedang boleh bertempur.”

“He-he-he, akupun ingin jadi Raja Pedang!”

“Tapi pertandingan ini hanya terbatas dalam ilmu pedang, dan kau bersenjata suling beracun.”

“Eh, suling ini hanya pelengkap saja.

“Ha-ha-ha, Raja Pedang! Kalau kau takut terhadap suling muridku, jangan berani pakai gelar Raja Pedang segala. Kalau muridmu Lee Giok itu takut menghadapi muridku, suruh dia bersembunyi di dapur. Ha-ha-ha!” Siauw-ong-kwi yang nakal wataknya itu mengejek, membuat banyak orang tertawa.

Cia Hui Gan berpaling kepada Lee Giok dan melihat sinar mata muridnya penuh kemarahan. 

“Lee Giok, ilmu pedangnya sih tidak seberapa, tapi kau hati-hatilah terhadap sulingnya.”







SELANJUTNYA»»

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)