RAJAWALI EMAS JILID 038

Li Cu menyambar pedangnya yang ditinggalkan Beng San di dekatnya, lalu melompat dan lari mengejar Beng San yang sudah lari jauh dengan kecepatan laksana terbang itu. Tak dapat ia menyusul Beng San, akan tetapi ia dapat menduga bahwa orang muda itu tentulah pergi ke Min-san. 

Sebetulnya ia boleh tak usah pedulikan Beng San. Akan tetapi ada sesuatu yang terjadi didalam hatinya. Ia setengah dapat menduga bahwa telah terjadi sesuatu yang mengerikan pada diri isteri Beng San. Ia seperti melihat awan gelap di atas mengancam Beng San. Di samping ini, ia merasa bahwai ia harus selalu berdekatan dengan orang itu. Tak dapat lagi ia ditinggalkan, tak dapat lagi ia berpisah. Ia merasa kasihan kepada Beng San, juga kasihan kepada… diri sendiri karena ia pasti akan merana dan sunyi hidupnya kalau berjauhan dengan Beng San.

“Beng San….” rintihnya sambil mengusap air matanya yang berderai turun membasahi pipinya. “Ya Tuhan… mengapa aku menjadi begini….?” ia mengeluh bingung. 

Tidak semestinya ia mengejar Beng San. Ia seharusnya kembali, seharusnya malah meninggalkan Beng San jauh-jauh. Setanlah yang menggodanya ini, setan yang membisikkan hal-hal yang tak boleh ia lakukan. Tapi… ah, mengapa hatinya bulat-bulat menyerah? Mengapa kakinya seperti tidak mau disuruh pergi ke lain jurusan? Ia teringat ayahnya, lalu bersambat lirih,

“Ayah… anakmu telah gila… telah gila….” 

Dan sementara itu kedua kakinya terus berlari cepat, menuju Min-san! Di dunia ini, apakah yang lebih berkuasa dan aneh daripada cinta? Apakah yang lebih gila daripada orang muda yang sudah mabok madu asmara? Cinta kasih atau asmara telah banyak sekali menimbulkan cerita dan peristiwa yang lebih aneh daripada dongengan!

Dengan muka pucat kurus dan mata merah rambut awut-awutan pakaian compang-camping, setelah melakukan perjalanan terus-menerus, akhirnya Beng San sampai juga di puncak Min-san. 

Ketika ia memasuki halaman rumahnya, dua orang pelayan wanita yang masih tinggal disitu hampir-hampir tidak mengenalnya. Sampai lama mereka memandang dengan bengong dan curiga, karena laki-laki muda yang berdiri di depan mereka itu lebih patut menjadi seorang pengemis yang liar daripada tuan muda mereka yang tampan.

“Bi Goat… mana Bi Goat….?” 

Suara Beng San serak, entah sudah berapa ribu kali kalimat pertanyaan ini keluar dari mulutnya di sepanjang perjalanan pulang. 

“Mana nyonya muda….?”

Setelah mendengar pertanyaan ini barulah dua orang pelayan tua itu merasa yakin bahwa yang berdiri di depan mereka sekarang ini adalah “tuan muda” mereka.

“Siauw-ya (Tuan Muda)….!” keduanya lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis bersaing keras,

“Apa yang terjadi? Mana nyonya muda. Dia kenapa?” 

Akan tetapi dua orang pelayan itu menangis makin keras. Beng San tak sabar lagi. Sekali melompat ia telah memasuki rumah dan berlari-lari didalam semua ruangan dan kamar, membuka dan menutup pintu seperti orang mengejar sesuatu. Seluruh bagian rumah, sampai kekamar mandi, ia masuki namun sunyi sepi, tidak ada seorangpun manusia lagi kecuali dua orang pelayan wanita yang sedang menangis tersedu-sedu itu. 

Akhirnya terpaksa Beng San kembali ke ruangan depan dimana dua orang pelayan itu menangis. Tubuh Beng San menggigil, matanya berputaran, jantungnya serasa berhenti berdetik.

“Mana dia? Mana Bi Goat? Katakanlah, mana Bi Goat? Ahh… kuhancurkan kepalamu kalau tidak bicara!” ia mengguncang-guncang pundak seorang pelayan yang menjadi ketakutan. 

Dengan muka pucat keduanya berhenti menangis, lalu dengan suara terputus-putus mereka bercerita,

“Mula-mula datang seorang nyonya bernama Kwa Hong… dia naik burung menakutkan… dia melahirkan anak disini ditolong oleh Nyonya Muda… setelah dia dan anaknya pergi, Nyonya Muda jatuh sakit… tak pernah sehat lagi, lalu minta kepada Lo-ya (Tuan Tua) pergi menyusul Siauw-ya… tapi pulang tanpa Siauw-ya. Nyonya Muda makin sedih… lalu melahirkan dan… dan… tidak kuat… Nyonya Muda meninggal dunia….” Tak dapat tertahan lagi dua orang pelayan itu menangis terisak-isak.





Beng San meramkan mata, meringis kesakitan. Dadanya sebelah kiri serasa tertusuk, ubun-ubun kepalanya berdenyut-denyut. Ia tidak bisa menangis lagi, lehernya seperti dicekik dan bibirnya yang putih seperti kertas itu bergerak-gerak perlahan, lalu berhenti bergerak, ternganga dan pandang matanya jauh ke depan tak bersinar, seakan-akan ia sudah menjadi tubuh tak bernyawa, kehilangan semangatnya.

“Siauw-ya… Siauw-ya….” 

Pelayan yang tertua menubruk kaki Beng San tak tahan melihat majikannya berhal demkian itu, Beng San bergerak perlahan lalu terdengar suara dari mulutnya, suara yang terdengar seperti suara dari jauh.

“Dimana makamnya… dimana dikuburnya….?”

“Maafkan hamba, Siau-ya… karena Lo-ya membawa anak bayi itu, hamba sekalian terpaksa mengajak saudara-saudara dari kaki gunung untuk mengubur jenazah Nyonya Muda di pekarangan belakang rumah secara sederhana….”

Beng San lalu melangkah perlahan dan lemas, menuju ke pekarangan belakang, diikuti dua orang pelayan yang masih menangis terisak-isak. Akhirnya ia berdiri tegak di depan sebuah kuburan yang masih baru, kuburan sederhana yang tidak diberi batu nisan, hanya ditanami bunga mawar gunung kesukaan Bi Goat dan pohon kembang itu sudah mulai berbunga.

“Bi Goat… ampun… isteriku… ampun…” 

Beng San roboh ke depan, mukanya terbanting dan terbenam pada gundukan tanah kuburan.

Dua orang pelayan itu cepat menolong Beng San yang sudah pingsan sambil turut menangis. Akan tetapi setelah siuman kembali Beng San menyuruh dua orang pelayan itu pergi meninggalkannya seorang diri di kuburan isterinya. 

Malam itu hujan turun deras, namun Beng San tidak beralih dari tempatnya, tidak bergerak dan terus-menerus terdengar suaranya memanggil-manggil nama Bi Goat dan minta ampun. 

Semenjak saat ia roboh pingsan di kuburan isterinya, sampai berhari-hari ia tidak pernah pergi meninggalkan tempat itu, tak pernah makan tak pernah tidur! Beberapa kali dua orang pelayan yang setia itu datang menangis dan membujuk-bujuknya, namun Beng San malah marah-marah dan mengusir mereka pergi dari depannya.

Sepuluh hari kemudian tubuh Beng San telah menjadi kurus dan wajahnya pucat kehijauan, matanya makin liar. Hanya karena tubuhnya yang terlatih dan mengandung tenaga luar biasa itu saja yang membuat ia masih dapat menahan. 

Dua orang pelayan itu sudah tak berdaya lagi, tidak berani mendekati Beng San karena tuan muda ini marah-marah kalau di “ganggu”. Mereka menjadi putus asa dan merasa ngeri kalau membayangkan betapa pada suatu pagi mereka akan melihat tuan muda itu menggeletak dalam keadaan tak bernyawa karena kelaparan di kuburan itu.

Akan tetapi, seperti juga kelahiran takkan ada, kematian takkan menimpa diri seorang manusia kalau Tuhan belum menghendakinya. Demikian pula dengan Beng San. Orang muda ini bukannya sengaja bermaksud membunuh diri, akan tetapi ia sudah tidak mempedulikan keadaan sekelilingnya, ingatannya sudah berubah karena tekanan batin yang amat hebat. 

Kedukaan yang hebat, penyesalan yang bertubi-tubi menghantam batinnya, tak kuat ia menahannya sehingga ia seperti orang yang sudah tidak waras lagi otaknya. Namun agaknya Tuhan Maha Pengasih suka mengampunkan dosanya.

Malam hari itu hujan turun rintik-rintik. Dinginnya bukan main di Puncak Min-san. Di kuburan Bi Goat, Beng San duduk bersila menghadap kembang mawar yang sudah rontok dari tangkainya, mengeluh dan bersambat dengan suara lirih,

“Bi Goat, isteriku. Kau begitu mulia, begitu suci cintamu kepadaku… dahulu kau sampai rela hendak mengorbankan nyawamu untukku…., ah, Bi Goat, tidak kelirukah kau memilih aku? Aku tidak berharga mendapatkan cintamu… aku seorang yang rendah. Aku telah mengadakan hubungan dengan Hong-moi… menjadi ayah dari anak Hong-moi, tapi aku tidak berterus terang kepadamu… Bi Goat… aku laki-laki mata keranjang, laki-laki berhati lemah, mudah runtuh menghadapi wanita cantik.” Ia berhenti sebentar dan terdengar isaknya tertahan.

“Bi Goat, kenapa kau belum juga datang? Marahkah kau kepadaku? Sudah sepatutnya kau marah… aku minta ampun, Goat-moi… aku berdosa kepadamu. Sekarang kuakui semua dosaku… betul, aku telah berlaku serong… aku merusak hidup Hong-moi, malah sebelum itu… aku pernah mencinta Thio Eng. Ah, aku laki-laki mata keranjang, dan aku hampir runtuh pula ketika bertemu dengan Nona Cia Li Cu… hatiku mencinta mereka semua itu, ah… padahal kau begitu suci cintamu… aku berdosa, ampunkan aku….”

Sesosok bayangan muncul di belakang kuburan itu. Bayangan seorang wanita cantik berbaju merah! Perlahan-lahan bayangan ini melangkah maju dan terdengar suaranya lirih menggetar ditimpa suara hujan gerimis di malam gelap

“Beng San….”

Beng San mengangkat kepala perlahan. Matanya yang pedas dan merah itu ia gosok-gosok, kemudian ia menubruk maju, berlutut dan merangkul kaki wanita itu.

“Ah, Bi Goat… akhirnya kau datang juga….? Bi Goat, ampunkan aku… ampunkan aku…..”

Wanita itu mengucurkan air mata sehingga air mata itu bercampur dengan air hujan gerimis yang menimpanya, mengalir di sepanjang pipinya. Jari tangannya mengelus-elus rambut kepala Beng San dan ia berkata terharu.

“Bi Goat sejak dulu mengampunimu… Beng San….”

“…ah, betulkah? Betulkah kau sudi mengampuni dosaku? Aku telah gila… aku telah gila… aku… aku menyakiti hatimu… sudikah kau mengampuniku?”

“Aku mengampuni semua kesalahanmu….” jawab wanita itu, “… asal saja… asal saja kau suka menurut segala kata-kataku.”

“Aku akan taat, akan kuturut semua, demi Tuhan. Aku bersumpah akan mentaati segala perintahmu, biar kau suruh masuk ke lautan api sekalipun!”

“Kalau begitu, bangunlah dan mari kita masuk ke rumah, tak baik berhujan-hujan disini, hayo kau ikuti aku, Beng San!”

Beng San bangun berdiri, tersenyum-senyum dan wanita itu makin terharu ketika melihat betapa wajah laki-laki itu berubah seperti wajah seorang anak kecil yang diampuni orang tuanya karena kenakalannya.

“Aku ikut… aku ikut….” kata Beng San yang berjalan terhuyung-huyung saking lemas badannya di belakang wanita itu. 

Wanita baju merah itu segera memegang lengannya dan membantunya berjalan menuju ke rumah itu.

Dua orang pelayan sudah menyambut di pintu belakang, wajah mereka tampak
lega. 

“Ah, syukur, Nona. Syukur kau berhasil….” kata mereka.

“Sttt….” Wanita itu mencegah mereka bicara. “Lekas sediakan air panas dan pakaian Siauw-ya, kemudian sediakan makanan yang lunak… jangan lupa hangatkan arak….”

Dengan tersenyum gembira dua orang pelayan itu pergi mempersiapkan permintaan wanita itu. Beng San benar-benar menurut sekali terhadap wanita yang dianggapnya Bi Goat itu. Disuruh membersihkan tubuh dan menukar pakaian, ia menurut seperti anak kecil, disuruh makan bubur panas iapun menurut saja. Kemudian iapun tidak membantah ketika disuruh tidur di kamarnya sendiri, diselimuti oleh wanita itu yang duduk di pinggir ranjang dan yang melayaninya dengan penuh perhatian.

Siapakah wanita baju merah itu? Benarkah dia Bi Goat? Tidak mungkin, Bi Goat sudah mati, sudah dikubur. Ia bukan lain adalah Li Cu! Seperti dituturkan di bagian depan, Li Cu tak dapat menahan hati dan kakinya sendiri menyusul Beng San di Min-san. Ia kalah cepat oleh Beng San, maka baru sepuluh hari kemudian ia tiba di puncak Min-san. 

Bukah main sedih dan terharu hatinya ketika ia mendengar penuturan dua orang pelayan itu tentang keadaan Beng San. Ia mengaku menjadi sahabat baik Beng San dan Bi Goat. Setelah ia mendengar penuturan dua orang pelayan itu, serta-merta pada hari itu juga ia menyusul Beng San ke kuburan dan akhirnya ia berhasil membujuk Beng San pulang, sungguhpun perih hatinya karena Beng San mau menuruti permintaannya setelah mengira bahwa dia adalah Bi Goat!







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)