RAJAWALI EMAS JILID 040

Di dalam tubuh Beng San terkandung dua hawa yang amat besar, hawa Im dan Yang, dua hawa yang bertentangan akan tetapi telah teratur kedudukannya. Berbeda dengan orang lain apabila terpukul dan menderita luka dalam, muntah darah berarti membahayakan. Sebaliknya Beng San dengan muntah darah ini malah menyatakan bahwa tenaga di dalam tubuhnya bekerja dan darah yang dimuntahkan itu sajalah yang menjadi akibat pukulan tadi.

Melihat Beng San muntah darah, Li Cu kaget setengah mati dan mengira bahwa Beng San pasti terluka parah. Ia marah bukan main dan pedangnya lalu diputar ke depan.

“Song-bun-kwi manusia iblis! Kau keji dan curang. Kalau memang ada kepandaian, mengapa menyerang orang sakit? Majulah, aku musuhmu!”




Pedangnya menyambar-nyambar ke depan dan sekejap mata saja gulungan sinar pedang mengurung Song-bun-kwi dengan hebatnya. Song-bun-kwi tertawa bergelak, pedangnya cepat menangkis dari samping lalu ia berkata,

“Perempuan tak tahu malu! Aku hendak membunuh mantuku sendiri yang telah menyebabkan kematian anakku, yang telah meninggalkan anakku untuk bermain gila dengan segala perempuan busuk, kau menghalangi ada hubungan apakah? Apakah kau kekasihnya yang baru?”

Kemarahan Li Cu membuat ia hampir menangis mendengar caci-maki kotor ini. Akan tetapi ia harus membela Beng San, membela nyawanya juga membela nama baiknya.

“Song-bun-kwi, kau seorang kakek tua bangka yang sudah mau mati tapi ucapanmu seperti orang gila atau seperti anak kecil saja! Beng San bukan menjadi sebab kematian Bi Goat. Selama ini dia pergi karena dia membantu Kaisar untuk membasmi orang-orang jahat yang hendak memberontak. Dia dimintai bantuan oleh Pek-lian-pai dalam tugas yang mulia. Yang menyebabkan kematian anakmu adalah iblis wanita Kwa Hong. Kalau kau memang mendendam, mengapa kau tidak mencari dan membalas kepada Kwa Hong? Andaikata kau hendak membalas kepada Beng San, sebagai orang gagah kaupun harus menanti sampai dia sembuh agar dia dapat melayanimu. Apakah kau sudah berubah menjadi pengecut?”

Song-bun-kwi mengeluarkan suara menggereng hebat, matanya liar. 
“Kwa Hong akan kubunuh, Beng San akan kubunuh, dan kau yang membelanya akan kubunuh lebih dulu!” 

Setelah berkata demikian ia menubruk maju dan menyerang dengan pedangnya. Pedangnya bergerak menusuk kemudian ditarik ke bawah. Kalau serangan ini berhasil tentu korbannya akan terbelah dada dan perutnya, Namun dengan gerakan lincah dan indah sekali Li Cu sudah mengelak ke kanan, tubuhnya berputar seperti orang menari kemudian membabat dengan pedangnya kearah pedang lawan. Ia hendak mengandalkan ketajaman Liong-cu-kiam untuk mematahkan senjata lawannya.

Akan tetapi Song-bun-kwi bukanlah seorang tokoh yang masih hijau. Ia cukup mengenal Liong-cu-kiam. Biarpun yang ia pegang juga sebatang pedang yang baik dan kuat, namun ia tidak berani mengadukan pedangnya secara langsung dengan Liong-cu-kiam. Ia hanya menyampok pedang lawan yang ampuh bukan main itu dari samping dengan pedangnya sehingga terhindar peraduan. kedua pedang pada bagian tajamnya.

Serang-menyerang terjadi dengan amat serunya, dan mati-matian. Ilmu kepandaian Song-bun-kwi hebat bukan main, dia adalah tokoh besar dalam dunia persilatan. Biarpun Li Cu juga telah mewarisi ilmu pedang yang sakti, namun ia kalah pengalaman bertempur biarpun di tangannya ada pedang pusaka Liong-cu-kiam. 

Song-bun-kwi tidak mengenal ampun, mendesak terus sambil mengeluarkan jurus-jurus yang paling hebat karena ia maklum bahwa lawannya biarpun hanya merupakan seorang gadis muda namun cukup lihai dan berbahaya. Malah kakek ini di samping pedangnya yang dimainkan dengan Ilmu Pedang Yang-sin Kiam-sut dicampur ilmu pedangnya Sendiri, juga mulai melancarkan pukulan-pukulan maut dengan tangan kirinya, menggunakan pukulan jarak jauh yang bukan main dahsyatnya. 

Tiap kali pukulan ini datang, Li Cu merasa sambaran angin yang hebat ke arahnya. Ia kaget sekali dan maklum bahwa biarpun kepandaian lawan tidak mengenai tubuhnya, hawa pukulan itu kalau tepat mengenai bagian berbahaya, bisa mendatangkan celaka. Maka ia selalu mengelak kalau diserang pukulan ini. Kali ini membuat keadaannya terhimpit.





“Heeei, jangan serang isteriku. Eh, kakek yang baik, orang setua engkau seharusnya memberi contoh baik kepada yang muda, mengapa malah suka berkelahi? Heee! Hati-hati, jangan main-main dengan pedang yang begitu tajam, jangan-jangan kau nanti mencelakai isteriku!” 

Beng San berteriak-teriak penuh kekuatiran. Tadi ia agak nanar maka ia setengah pingsan oleh pukulan yang membuat ia muntah darah. Akan tetapi setelah ia dapat bangun, ia segera berteriak-teriak melarang Song-bun-kwi menyerang “isterinya”.

Mana Song-bun-kwi mau pedulikan dia? Makin hebat Song-bun-kwi mendesak sehingga pada suatu saat Li Cu terhuyung-huyung ke belakang, hampir saja menjadi korban pukulan mautnya. Beng San tak dapat menahan kesabarannya lagi, ia melangkah maju dan menudingkan telunjuknya.

“Orang tua, kenapa kau begini nekat? Isteriku pandai main pedang, kalau sampai dia marah… hemmm, apakah kau sudah bosan hidup?”

Song-bun-kwi kaget juga menyaksikan sikap Beng San ini. Dilihat sikapnya yang begitu berani, agaknya pemuda ini masih memiliki kepandaiannya, sejenak ia tertegun dan ini membuat gerakannya agak kalut dan terlambat sehingga Li Cu dapat memperbaiki kedudukannya dan berbalik gadis yang tadinya terdesak itu sekarang dapat balas menyerang.

“Bagus, Beng San. Kau majulah, pukul dia mampus dengan ilmu saktimu!” 

Li Cu berseru keras. Song-bun-kwi makin bingung dan kaget, dikiranya betul-betul Beng San hendak menyerangnya. Kembali kesempatan ini dipergunakan oleh Li Cu untuk mainkan pedangnya dan… 

“brett” ujung baju kakek itu terbabat putus! 

Song-bun-kwi kaget sekali dan cepat ia melompat ke arah Beng San sambil mengayun pedangnya.

Girang hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa sama sekali Beng San tidak dapat mengelak, malah Li Cu yang menangkis serangan ini.

“Aha, kalian mau menipu aku? Ha-ha-ha, kalian harus mampus sekarang juga!” 

Dengan ucapan ini Song-bun-kwi mendesak makin hebat sehingga Li Cu menjadi sibuk menangkis dan mengelak. Sekali pundaknya terkena pukulan tangan kiri Song-bun-kwi sehingga gadis itu terpaksa menggulingkan diri dan bergulingan menjauhkan diri dari Song-bun-kwi. Namun sambii tertawa-tawa kakek ini mengejar terus dengan pedang diangkat, siap untuk membacok.

“Tranggg!” 

Pedang Song-bun-kwi terpental dan biarpun pedang itu tidak terlepas dari pegangannya dan ia cepat dapat melompat mundur, namun lengannya agak diatas pergelangan telah tergores pedang di tangan Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan yang sudah berdiri dengan gagah disitu. Pendekar pedang inilah yang tadi menangkis bacokan Song-bun-kwi untuk menolong nyawa puterinya.

Melihat datangnya Raja Pedang ini, Song-bun-kwi mendengus marah, 
“Huh, kau juga ikut-ikut urusanku?”

“Song-bun-kwi iblis tua! Seorang ayah melihat puterinya hendak dibunuh orang bagaimana bisa diam saja?”

Sejenak Song-bun-kwi tertegun. Ia maklum akan kehebatan ilmu pedang Cia Hui Gan, maka tidak berani berlaku sembrono. Kemudian ia menoleh ke arah Beng San yang berdiri bengong di pinggiran.

“Bagus, kau betul sekali, Kiam-ong. Anakku dibunuh orang, mana aku bisa diam saja?”

Sambil berkata demikian ia menubruk ke depan dan menyerang Beng San dengan pedangnya.

Melihat itu Li Cu kembali menggerakkan senjatanya menangkis serangan kakek itu. Kali ini Song-bun-kwi terlalu bernafsu dalam penyerangannya maka pedangnya bertemu dengan telak sekali dengan pedang di tangan Li Cu. Dengan mengeluarkan bunyi nyaring, pedang di tangan Song-bun-kwi terbabat putus menjadi dua potong oleh Liong-cu-kiam!

“Li Cu, jangan mencampuri urusan mereka!” 

Cia Hui Gan membentak anaknya, mukanya menjadi merah dan malu melihat sikap puterinya itu.

Akan tetapi, Li Cu dengan pedang di tangan berdiri memandang ayahnya dengan mata bersinar. 

“Ayah, Beng San tidak pernah membunuh anak Song-bun-kwi yang mati karena melahirkan. Beng San bahkan amat mencintanya. Mana bisa aku membiarkan orang membunuhnya? Kalau Song-bun-kwi menantang Beng San dalam keadaan seperti biasa, akupun tidak peduli. Akan tetapi Beng San sedang sakit, sama sekali tidak dapat melawan!”

SONG-BUN-KWI marah sekali akan tetapi juga gentar. Menghadapi gadis itu saja sudah payah untuk mencapai kemenangan, apalagi sekarang muncul ayahnya yang tentu saja tidak membiarkan ia mengganggu Li Cu. 

Pada saat itu terdengar tangis seorang anak tak jauh dari situ. Mendengar ini Song-bun-kwi mengeluarkan gerengan marah lalu ia melompat pergi ke arah suara tangisan anak kecil itu. Dari jauh terdengar suaranya, 

“Bu-tek Kiam-ong, kau mengandalkan nama besarmu bersikap sewenang-wenang. Tunggulah, kelak aku mencarimu di Thai-san!”

Sejenak hening. Ayah dan anak itu saling berpandangan. Si ayah dengan sinar mata penuh kemarahan, Si anak tenang-tenang saja namun tarikan mukanya jelas membayangkan keteguhan hatinya.

“Li Cu, apa artinya semua ini?” akhirnya suara si ayah terdengar memecah kesunyian.

“Artinya, Ayah, bahwa aku cinta kepada Beng San dan sisa hidupku akan kuhabiskan di sampingnya,” jawab gadis itu dengan suara penuh ketetapan hati.

Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan mengerutkan keningnya. 
“Tapi… tapi ia seorang gila….”

“Dia tidak gila, Ayah. Hanya kehancuran hati membuat ia demikian. Ia kematian isterinya yang tercinta dan ia merasa berdosa besar terhadap isterinya sehingga kesedihan membuat ia kehilangan ingatan. Akan tetapi… dia seorang berbatin mulia, Ayah, telah beberapa kali menyelamatkan nyawaku tanpa mempedulikan keselamatan diri sendiri. Aku ingin membalas budinya dan….”

“Tapi dia tidak menganggapmu sebagai Cia Li Cu….”

“Memang dia menganggap aku sebagai isterinya yang sudah meninggal dunia.
Dan ini lebih mempertebal keyakinanku betapa setia hatinya, penuh cinta kasih murni. Aku tak dapat meninggalkannya, Ayah karena hal itu berarti dia akan celaka.”

“Li Cu, apa kau juga sudah menjadi gila? Anakku hendak mengorbankan sisa hidupnya untuk seorang gila? Tak mungkin! Kakak kandungnya seorang berwatak durhaka dan busuk, adiknya takkan jauh bedanya. Dia harus mampus saja daripada merusak hidupmu!” 

Tiba-tiba sinar terang berkelebat dan tahu-tahu kakek ini sudah menerjang ke arah Beng San yang berdiri melongo melihat perdebatan antara ayah dan anak itu.

“Ayah….!!” Li Cu bergerak dan “trangg!” bunga api berpijar, pedang Liong-cu-kiam di tangan Li Cu terlepas menancap di atas tanah, akan tetapi pedang di tangan Cia Hui Gan sudah patah menjadi dua potong!







Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)