RAJAWALI EMAS JILID 059
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Oleh
Epul Saepul Rohman
“Siluman cilik, akan kubetot jantungmu, akan kukorek otakmu, kujadikan bahan obat jin-sin-tan!”
Yok-mo memaki-maki dan mengancam, kemudian ia merambat ke atas melalui tongkatnya. Sebentar kemudian ia telah berhasil menyambar sabuk hitam itu, melepaskan tongkatnya dan dengan sikap liar mengerikan ia mulai merayap naik melalui sabuk hitam, makin mendekati tempat Li Eng duduk, yaitu di sebuah cabang besar.
“Hemmm, bocah liar itu mencari penyakit!” gumam Kwa Tin Siong.
Ia sebetulnya tidak ingin melihat gadis yang aneh dan pandai ilmu silat Hoa-san-pai itu celaka di tangan Yok-mo, akan tetapi karena bocah itu sendiri melarang ia membantu, tentu saja ia malu untuk turun tangan.
“Melihat sikapnya, iapun tentu bukan murid orang baik,” kata Liem Sian Hwa. “Akan tetapi dia demikian cantik dan muda, kasihan kalau sampai mengorbankan nyawa di tangan Yok-mo. Apalagi disengaja maupun tidak dia tadi telah menolong kita. Tunggu saja, kalau dia terancam, tidak peduli dia tidak suka dibantu, kita turun tangan.”
Kwa Tin Siong menyetujui usui isterinya ini, maka mereka lalu siap-siap di bawah pohon untuk membantu sewaktu-waktu gadis itu terancam bahaya di tangan Yok-mo yang mukanya sudah merah hitam saking marahnya itu.
“Monyet tua, kau mau buah mentah?. Nih, makan!”
Dan menghujanlah buah-buah mentah kearah tubuh dan muka Yok-mo. Karena sambaran buah-buah itu sebagian besar ditujukan ke arah kedua matanya, terpaksa Yok-mo menundukkan muka, meramkan mata dan menutup jalan-jalan darah yang berbahaya agar jangan sampai tertotok oleh sambitan-sambitan itu.
Sementara itu ia merambat terus ke atas, makin mendekati Li Eng. Ia merasa betapa luka-luka di pundak dan lambungnya mengucurkan darah dan merasa sakit sekali, akan tetapi dengan mengeraskan hati kakek yang sudah marah karena dipermainkan Li Eng ini terus mengerahkan tenaga merayap ke atas.
Hampir ia mencapai tempat Li Eng dan ia sudah mengangkat tongkat hitamnya untuk menyerang gadis itu. Tiba-tiba tubuh Yok-mo meluncur ke bawah dan baru berhenti setelah ia hampir menyentuh tanah. Yok-mo memaki-maki kiranya sutera hitam itu diulur oleh Li Eng!
Sambil memaki-maki Yok-mo merayap lagi, merambat ke atas dengan cepat sekali. Sebaliknya, Li Eng juga memaki-maki, mengejek sambil menyambit muka kakek itu dengan buah-buah mentah. Biarpun kakek itu kebal dan tidak terluka oleh sambitan-sambitan itu, namun ia sedikitnya merasa mukanya sakit dan pedas. Ia mempercepat rambatannya keatas dan sebentar saja ia sudah mendekati Li Eng lagi.
Akan tetapi… tiba-tiba tubuhnya meluncur turun lagi sampai dekat tanah. Sambil memutar tongkatnya melindungi muka dari sambitan buah. Yok-mo memandang dan dengan girang ia melihat bahwa kini gadis itu memegangi ujung sutera hitam. Hal ini berarti bahwa sutera yang panjang itu sudah habis dan takkan dapat diulur lagi.
“Keparat cilik, kau hendak lari kemana sekarang?” teriaknya sambil merambat lagi ke atas dengan cepat.
“Keparat gede!” Li Eng balas memaki. “Aku tidak lari kemana-mana, kaulah yang jangan lari.”
Dan begitu tubuh kakek itu sudah sampai diatas, gadis yang nakal ini sekaligus melepaskan sutera yang dipegangnya. Tak dapat dihindarkan lagi tubuh kakek itu jatuh ke bawah! Baiknya ia memang lihai sekali sehingga jatuhnya enak saja dengan kedua kaki di atas tanah.
Akan tetapi, bukan main herannya Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa ketika melihat betapa tiba-tiba kakek itu berteriak-teriak kesakitan, melepaskan tongkatnya, memandang kepada kedua tangannya yang sudah menjadi hitam dan… sambil menjerit-jerit kakek itu lalu lari secepatnya meninggalkan puncak Hoa-san-pai, diiringi suara ketawa nyaring gadis itu yang cepat-cepat melompat ke bawah.
“Hi-hi-hik, termakan racunmu sendiri kau sekarang!” katanya puas sambil menggulung kembali sabuk suteranya.
Tahulah sekarang Kwa Tin Siong dan istarinya bahwa tadi ketika sabuk melibat tongkat, sabuk itu telah terkena racun yang keluar dari ujung tongkat dan ketika kakek itu merambat melalui sabuk otomatis kedua tangannya terkena racun hebat dari tongkat itu. Tidak mengherankan jika kedua tangannya itu menjadi hangus dan kakek itu melarikan diri ketakutan.
Mengingat bahwa gadis itu telah menyelamatkan nyawanya, Kwa Tin Siong lalu berkata dengan nada menghormat,
“Gadis yang gagah perkasa, telah kau sengaja atau tidak, akan tetapi kau tadi telah menyelamatkan nyawa kami suami isteri. Terimalah ucapan terima kasihku kepadamu.”
Gadis itu menjebirkan bibirnya.
“Siapa menyelamatkan siapa? Kakek itu sudah berani mengotori Im-kan-kok, tidak kubunuh juga sudah untung. Kau ini orang she Kwa yang menjadi Ketua Hoa-san-pai, sekarang juga kau harus menyerahkan pedang Hoa-san Po-kiam itu kepadaku berikut kepalamu.” Sambil berkata demikian ia melangkah maju dengan sikap tenang.
Kwa Tin Siong yang lebih merasa heran daripada marah. Sudah tentu ada sebab-sebab yang aneh kalau anak ini sampai memusuhinya, tak mungkin memusuhi tanpa sebab.
“Nanti dulu, kalau kau betul-betul datang hendak memusuhiku, hal itu adalah wajar asal ada alasannya yang kuat. Kau jelaskanlah mengapa kau hendak merampas Hoa-san Po-kiam dan hendak membunuhku? Apa sebabnya?”
“Apa sebabnya kau tak perlu tahu. Pendeknya aku harus merampas kembali hoa-san Po-kiam dan membunuh Ketua hoa-san-pai she Kwa! Hayo majulah dan serahkan pedang dan kepalamu, aku sudah hilang sabar!”
Kwa Tin Siong orangnya memang berwatak sabar, akan tetapi tidak demikian dengan Liem Sian Hwa. Nyonya ini menjadi marah bukan main, tak dapat ia menahan perasaan hatinya yang terbakar ketika ia mendengar orang menghina suaminya. Cepat ia mencabut pedangnya yang sudah buntung ujungnya tadi dan membentak,
“Siluman cilik, enak saja kau bicara! Siluman macam kau tidak bisa diajak bicara baik-baik. Kalau memang kedatanganmu hendak memusuhi kami, kau matilah dan lawan pedangku!”
Li Eng tertawa mengejek dan memandang pedang buntung itu.
“Hi-hik, dengan pedang itu kau hendak melawanku? Ah sedangkan ilmu pedangmu Hoa-san Kiam-sut saja baru kau pelajari setengah-setengah, matang tidak mentah tidak, bagaimana kau hendak melawanku mempergunakan pedang buntung? Bibi yang cantik, aku hanya ingin mengambil kepala orang she Kwa. Kalau kau ingin mencoba kepandaianmu yang masih setengah matang, kau….majulah!”
Sampai pucat wajah Liem Sian mendengar ejekan ini. Dia adalah seorang tokoh Hoa-san-pai, boleh dibilang menjadi orang kedua sesudah suaminya, Ia sudah mempelajari ilmu silat Hoa-san-pai semenjak ia kecil dan untuk kehebatan ilmu pedangnya ia malah sudah menggemparkan dunia kang-ouw dan mendapat julukan Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang). Masa sekarang ia dihina oleh seorang bocah cilik yang menyatakan bahwa ilmu pedangnya Hoa-san Kiam-sut matang tidak mentahpun tidak? Biarpun ia hanya berpedang buntung, namun ia masih sanggup untuk menghadapi lawan yang tangguh.
“Bocah setan, kau benar-benar terlalu sombong. Keluarkan senjatamu dan mari kau boleh merasakan ilmu pedangku yang mentah tidak matangpun tidak ini!” tantangnya.
“Untuk menghadapi kau dan pedang buntungmu cukup dengan tangan kosong”
“Sombong, lihat pedang!”
Sian Hwa tidak dapat menahan kemarahannya lagi dan pedangnya segera bergerak menyerang. Dengan gerakan cepat sekali sehingga sinar pedangnya bergulung-gulung, ia mengirim tiga kali tikaman berantai dengan jurus Lian-cu Sam-kiam.
“Hemmm Lian-cu Sam-kiam yang baik sekali. Sayang tidak ada isinya!”
Li Eng mengejek dan cepat mengelak. Karena ia tahu benar agaknya akan perubahan gerak dari jurus ini, maka dengan mudah ia dapat menyelamatkan diri. Sian Hwa merubah gerakannya, mengirim bacokan dari kanan kiri sambil mempergunakan kecepatannya.
“Aha, Hun-in Toan-san (Awan Melintang Putuskan Gunung)! Juga tidak mengandung inti sari, masih mentahl”
Lagi-lagi Li Eng mengelak dan mengejek. Sian Hwa makin marah, juga diam-diam terkejut sekali karena semua serangannya selalu dikenal oleh lawan. Dalam penyerangan-penyerangan berikutnya baru saja ia bergerak gadis cilik itu sudah menyebutkan jurus dan malah mengelak dengan gerakan-gerakan dan langkah-langkah dari ilmu silat Hoa-san-pai aseli.
“Tahan dulu!” tiba-tiba Kwa Tin Siong maju, melerai yang sedang bertempur setelah pertempuran itu berjalan puluhan jurus.
Ketua Hoa-san-pai ini menjadi curiga karena tadi ia melihat dengan jelas betapa ilmu silat gadis itu betul-betul aseli Hoa-san Kun-hoat, akan tetapi dimainkannya demikian aneh dan hebat.
“Nona kau sebetulnya murid siapakah?”
Juga Sian Hwa di samping kemarahan dan kegemasan karena penasaran, merasa heran sekali. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan lawan yang begini muda tapi begini hebat ilmu silatnya, apalagi ilmu silat dari Hoa-san-pai pula!
Li Eng tersenyum mengejek.
“Murid siapa juga kau peduli apakah? Pendeknya, kau harus menyerahkan Po-kiam dari Hoa-san-pai berikut kepalamu. Kau tidak berhak menjadi Ketua Hoa-san-pai!”
Kwa Tin Siong mencabut pedangnya, pedang Hoa-san Po-kiam, lalu melangkah maju.
“Nah, ini pedangnya dan ini kepalaku, kau boleh ambil kalau kau bisa.”
Ia menjadi marah juga melihat sikap gadis yang bandel dan nekat ini dan ia ingin mencoba sendiri kepandaian gadis itu. Setelah suhunya meninggal, yaitu Lian Bu Tojin, kiranya tidak berlebihan kalau dia menganggap bahwa ahli silat Hoa-san-pai yang paling tinggi ilmunya pada saat itu adalah dia sendiri. Kalau gadis inipun ahli ilmu silat Hoa-san-pai, mana mungkin lebih tinggi tingkatnya daripada dia sendiri?
“Bagus, kau kehendaki kekerasan? Awas!”
Li Eng menggerakkan tangannya mencengkeram kearah pedang dan kakinya menyapu dengan kecepatan kilat.
Namun Kwa Tin Siong melangkah mundur dan pedang berkelebat membacok tangan gadis itu. Li Eng menarik tangannya, meloncat kekiri dan kembali menyerang dengan maksud hendak merampas pedang. Kini tubuhnya bergerak-gerak cepat, kadang-kadang melakukan pukulan yang amat cepat dan berbahaya, lain saat ia berusaha merampas pedang dari tangan Kwa Tin Siong.
Akan tetapi, kali ini ia betul-betul menghadapi seorang ahli silat yang sudah matang oleh pengalaman, juga yang memiliki tenaga dalam kuat sekali. Sampai lima puluh jurus belum juga ia berhasil merampas pedang. Di lain pihak, diam-diam Kwa Tin Siong makin terheran-heran. Harus ia akui bahwa ilmu silatnya sendiri kalau dibandingkan dengan ilmu silat gadis itu, ia jauh lebih ahli, juga lebih matang. Akan tetapi ada sesuatu yang aneh pada ilmu silat yang dimainkan gadis cilik ini, gerakan-gerakannya mengandung daya serang yang hebat sekali, yang tak ada pada ilmu silat aseli Hoa-san Kun-hoat.
“He, Nona kecil, apakah kau pernah belajar pada Supek Lian Ti Tojin?” Tiba-tiba Kwa Tin Siong bertanya karena ia mendapat dugaan yang aneh,
“Aku adalah murid ayah ibu sendiri, sudahlah jangan banyak cakap, lihat dalam beberapa jurus aku akan merampas pedangmu!”
Tiba-tiba benda hitam panjang seperti ular hidup menyambar ke arah muka Kwa Tin Siong yang menjadi kaget bukan main. Cepat Ketua Hoa-san-pai ini menyabet dengan pedangnya sambil mengerahkan tenaga untuk membabat putus benda itu. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika benda itu tiba-tiba malah melibat pedangnya dan tak dapat dilepaskan lagi. Ia mengerahkan tenaga menarik dan gadis itupun menahan sehingga keduanya saling betot. Kiranya benda itu adalah sutera hitam yang dipakai mengerek tubuh Yok-mo dan Sekarang sudah berada lagi di tangan gadis aneh itu.
Melihat keadaan suaminya dalam bahaya, Sian Hwa tidak dapat tinggal diam saja. Sambil berseru keras ia menggerakkan pedang buntungnya dan menerjang Li Eng. Gadis ini tertawa.
“Bagus, kalian boleh maju bersama-sama!”
Sabuk sutera hitam terlepas dan ia lalu bersilat dengan senjata aneh ini, sekarang dikeroyok dua!
Pada waktu itu, tingkat kepandaian suami isteri ini sudah amat tinggi dan kiranya tidak sembarang lawan dapat mengalahkan mereka. Mereka merupakan pasangan yang amat hebat dengan ilmu pedang mereka.
Akan tetapi ternyata keduanya tidak mampu mendesak Li Eng, sungguhpun gadis ini harus mengaku bahwa kini ia menghadapi dua lawan yang amat tangguh. Gadis itu mainkan senjatanya yang aneh secara cepat dan yang hebat sekali adalah bahwa ilmu silatnya tak salah lagi adalah ilmu silat Hoa-san Kun-hoat!
Next>>
Postingan populer dari blog ini
RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
JILID 01 JILID 02 JILID 03 JILID 04 JILID 05 JILID 06 JILID 07 JILID 08 JILID 09 JILID 10 JILID 11 JILID 12 JILID 13 JILID 14 JILID 15 JILID 16 JILID 17 JILID 18 JILID 19 JILID 20 JILID 21 JILID 22 JILID 23 JILID 24 JILID 25 JILID 26 JILID 27 JILID 28 JILID 29 JILID 30 JILID 31 JILID 32 JILID 33 JILID 34 JILID 35 JILID 36 JILID 37 JILID 38 JILID 39 JILID 40 JILID 41 JILID 42 JILID 43 JILID 44 JILID 45 JILID 46 JILID 47 JILID 48 JILID 49 JILID 50 JILID 51 JILID 52 JILID 53 JILID 54 JILID 55 JILID 56 JILID 57 JILID 58 JILID 59 JILID 60 JILID 61 JILID 62 JILID 63 JILID 64 JILID 65 JILID 66 JILID 67 JILID 68 JILID 69 JILID 70 JILID 71 JILID 72 JILID 73 JILID 74 JILID 75 JILID 76 JILID 77 JILID 78 JILID 79 JILID 80 JILID 81 JILID 82 JILID 83 JILID 84 JILID 85 JILID 86 JILID 87 JILID 88 JILID 89 JILID 90 JILID 91 JILID 92 JILID 93 JILID 94 JILID 95 JILID 96 JILID 97 JILID 98 JILID 99 JILID 100 JILID 101 J
RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNY JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILI
JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)
Oleh
Epul Saepul Rohman
SERI SEBELUMNYA JILID 001 JILID 002 JILID 003 JILID 004 JILID 005 JILID 006 JILID 007 JILID 008 JILID 009 JILID 010 JILID 011 JILID 012 JILID 013 JILID 014 JILID 015 JILID 016 JILID 017 JILID 018 JILID 019 JILID 020 JILID 021 JILID 022 JILID 023 JILID 024 JILID 025 JILID 026 JILID 027 JILID 028 JILID 029 JILID 030 JILID 031 JILID 032 JILID 033 JILID 034 JILID 035 JILID 036 JILID 037 JILID 038 JILID 039 JILID 040 JILID 041 JILID 042 JILID 043 JILID 044 JILID 045 JILID 046 JILID 047 JILID 048 JILID 049 JILID 050 JILID 051 JILID 052 JILID 053 JILID 054 JILID 055 JILID 056 JILID 057 JILID 058 JILID 059 JILID 060 JILID 061 JILID 062 JILID 063 JILID 064 JILID 065 JILID 066 JILID 067 JILID 068 JILID 069 JILID 070 JILID 071 JILID 072 JILID 073 JILID 074 JILID 075 JILID 076 JILID 077 JILID 078 JILID 079 JILID 080 JILID 081 JILID 082 JILID 083 JILID 084 JILID 085 JILID 086 JILID 087 JILID 088 JILID 089 JILID 090 JILID 091 JILID 092 JILID 093 JILID 094 JILID 095 JILID 096 JILID 097 JILID 098 JILI