RAJAWALI EMAS JILID 064

Hwesio itu kembali berdiri dan keningnya berkerut ketika ia memandang kumpulan anak-anak nakal itu. 

“Hemmm, karena mereka itu babi hutan termasuk golongan binatang maka mereka tidak mengenal aturan dan makan apa saja yang ada karena mereka lapar, Akan tetapi kalian adalah anak manusia, mengerti aturan. Apakah kalian mau pinceng samakan dengan anak-anak babi hutan?”

“Ah.. hwesio pelit. Banyak alasan untuk menutupi kepelitannya!” anak-anak itu ribut-ribut lagi, mengejek dan memaki.

Sesabar-sabarnya orang, menghadapi ejekan dan makian anak-anak ini memang merupakan ujian berat dan jarang sekali ada orang mampu mempertahankan kesabarannya. Hwesio itu mulai membelalakkan kedua matanya. Akan tetapi ia masih ingat akan kesabaran, maka tanyanya,

“Anak-anak, kalian minta labu untuk apakah? Apakah kalian lapar dan hendak memakannya?”

“Aku mau yang bundar untuk main bola!”

“Aku yang panjang untuk bikin kereta!”

Hwesio itu menjadi marah. 
“Enak saja kalian bicara! Pinceng menanam sayur dan labu untuk bahan makan, bukan untuk main-main. Hayo kalian pergi, tidak boleh minta labu!”

Kembali anak-anak itu memaki-maki dan hwesio itu tidak mempedulikan lagi, malah melanjutkan pekerjaannya, sekarang ke ladang sayur-sayuran untuk memeriksa kalau-kalau sayur-sayurnya dihinggapi ulat. Kesempatan ini? dipergunakan oleh anak-anak nakal itu untuk menyerbu ladang dan mengambil labu yang besar-besar.

“Eh, anak-anak nakal, kalian tiada bedanya dengan babi hutan!” 

Hwesio itu melompat dan menampar anak-anak yang dekat dengannya. Anak-anak itu berteriak-teriak, ada yang menangis dan mereka berserabutan lari.



“Kalian perlu dihajar agar kelak tidak menjadi manusia-manusia berwatak babi hutan!” hwesio itu masih memaki sambil menempiling anak-anak yang terdekat.

Pada saat itu, sesosok bayangan berkelebat di belakangnya dibarengi bentakan suara anak-anak,



“Hwesio gundul, berani kau memukuli teman-temanku?”

Hwesio itu kaget sekali akan tetapi ia tidak sempat membalikkan tubuhnya karena tiba-tiba bayangan yang ternyata adalah Sin Lee anak berusia sepuluh tahun itu sudah menampar kepalanya yang gundul. 

Biarpun hanya tamparan seorang anak kecil, namun karena tamparan itu menggunakan gerakan ilmu silat dan tangan anak itu semenjak kecil sudah terlatih, hwesio ini menjadi pening dan terhuyung-huyung lalu roboh tertelungkup. Sin Lee berseru girang dan menindih tubuh hwesio yang tertelungkup diatas tanah itu dan memukulinya. Malah ia berteriak-teriak,

“Kawan-kawan, hayo kalian hajar hwesio ini!”

Anak-anak yang tadi lari berserabutan, sekarang dengan girang lalu datang dan dengan tangan-tangan kecil mereka anak-anak itu memukuli tubuh dan kepala hwesio tadi! Tentu saja hwesio yang bertubuh kuat dan memiliki kepandaian silat itu tidak merasakan pukulan anak-anak itu, akan tetapi pukulan yang jatuh oleh tangan Sin Lee benar-benar membuat ia luka-luka parah juga sehingga membuat ia pingsan.

“Omitohud… anak-anak, jangan nakal!” tiba-tiba terdengar bentakan halus dan seorang hwesio tua menggerakkan kedua lengan bajunya ke arah anak-anak yang memukuli hwesio tinggi besar tadi.



Lima orang anak terlempar dan jatuh bergulingan. Mereka menangis, lalu semua anak itu berlari pergi. Hwesio tua itu terheran-heran melihat seorang anak kecil tidak bergeming oleh sambaran lengan bajunya tadi, malah sekarang sudah meloncat bangun dan berdiri tegak di depannya dengan mata bersinar-sinar marah!

“Hwesio tua! Berani kau memukul teman-temanku? Tidak malukah kau? Aturan mana yang membolehkan orang tua seperti kau ini memukul anak-anak kecil?”





Diam-diam hwesio tua itu tertegun. Ucapan anak nakal berusia antara sepuluh tahun ini tidak patut keluar dari mulut seorang anak sekecil ini. Dan melihat keadaan muridnya yang pingsan itu sudah dapat diduga bahwa tentulah anak ini yang merobohkannya. Diam-diam ia heran dan kagum. 

Kalau anak sekecil ini dapat mengeluarkan kata-kata seperti itu, apalagi dapat merobohkan muridnya, sudah dapat dipastikan bahwa anak ini bukanlah anak sembarangan dan kalau bukan putera tentulah murid seorang pandai. Maka berhati-hatilah kakek itu dan sambil tersenyum sabar ia bertanya,



“Eh, anak yang baik, kalau kau bilang bahwa seorang kakek seperti pinceng memberi penghajaran kepada anak-anak nakal tidak menurut aturan, apakah kau dan teman-temanmu menyerang dan memukul seorang hwesio sampai pingsan ini juga termasuk aturan benar?”

“Tentu saja benar! Dia ini tidak mau memberi labu kepada anak-anak dan ketika anak-anak mengambil sendiri, dia pukul.”

Kembali hwesio tua itu melengak. Memang amat tidak patut anak-anak kecil itu mengeroyok dan memukuli muridnya, akan tetapi lebih keterlaluan lagi kalau muridnya itu yang sudah menjadi hwesio, berurusan dengan anak-anak kecil saja tidak mampu menahan nafsu dan menggunakan tangan memukul ia menarik napas panjang memandang muridnya. 

Sebagai seorang ahli silat yang sudah matang kepandaiannya, ia mengerti bahwa biarpun mukanya matang biru dan kepalanya benjol-benjol, muridnya itu hanya terluka diluar saja dan tidak berbahaya.

“Sudahlah, kalau betul murid pinceng ini yang salah, pinceng yang memintakan maaf. Kau pergilah.”



“Tidak bisa!” Sin Lee nembantah. “Kaupun tadi sudah menggunakan kepandaianmu memukul teman-temanku. Kau mengandalkan kegagahan sendiri, apa kau kira aku takut?”

Merah muka kakek itu. Anak ini benar-benar aneh dan liar sifatnya.
“Hemm… hemmm…. kalau begitu kau mau apakah?”

“Aku harus balas memukulmu.”

“Begitu? Kau benar-benar nekat. Nah, kau boleh coba pukul kalau bisa, anak bandel.”

Sin Lee mengeluarkan pekik nyaring dan tubuhnya seperti seekor burung saja menerjang maju, kedua kepalannya yang kecil memukul bertubi-tubi dari kanan kiri, sukar diketahui yang mana yang betul-betul memukul dan sementara itu kedua kakinya menendang-nendang.

“Omitohud….” hwesio tua itu menyebut nama Buddha saking kagum dan heran serta kagetnya.



Akan tetapi sekali mengibaskan ujung lengan bajunya saja tubuh Sin Lee terguling seperti tertiup angin puyuh. Sebentar Sin Lee nanar, tapi ia segera merangkak bangun dan kembali ia menyerang, malah lebih hebat daripada tadi. Akan tetapi kembali ia terguling, lebih hebat lagi. 

Beberapa kali ia bangun dan menyerang lagi, akan tetapi makin keras ia menyerang, makin keras pula ia roboh sehingga akhirnya ia menyerah. Ia maklum bahwa ia tidak mampu menandingi kakek tua itu, maka tanpa banyak cakap lagi ia bangun lagi setelah agak lama ia nanar, membalikkan tubuh dan pergi dari situ.

“Hee… anak yang aneh, kau tunggu dulu, aku hendak bicara denganmu!” Hwesio tua itu mengejar.

Tiba-tiba Sin Lee membalikkan tubuh, sikapnya angkuh dan matanya berapi.
“Aku sudah kalah, kenapa kau banyak cerewet lagi?” 

Setelah berkata demikian ia mengeluarkan bunyi melengking keras. Pada saat itu juga dari udara terdengar bunyi lengking yang lebih nyaring lagi dan seekor burung menyambar turun seperti kilat menyambar. Sin Lee meloncat ke atas punggung burung itu yang segera terbang meninggi, meninggalkan kakek tua itu yang berdiri terlongong di bawah.

“Omitohud… apakah itu yang oleh orang-orang disebut kim-tiauw milik orang sakti yang dipanggil toanio dan anak itu, kiranya puteranya… benarkah di dunia ada hal seaneh dan sehebat ini…?” Ia menarik nafas berulang-ulang dan diam-diam ia menguatirkan bahwa kelak di dunia kang-ouw pasti akan muncul seorang tokoh luar biasa, yaitu bocah tadi semoga ia tidak tersesat….” demikian doanya.

Betapapun juga nakalnya, Sin Lee memiliki watak gagah yang jarang terdapat dalam diri anak kecil berusia sepuluh tahun, Contohnya, kekalahan terhadap hwesio tua itu sama sekali tidak ia beritahukan kepada ibunya. Ia tidak mendendam malah tidak ada dalam pikirannya sama sekali pada waktu itu untuk minta bantuan burungnya. Juga ia tidak mau minta ibunya supaya membalaskan kekalahannya.

Banyak sekali kenakalan dilakukan oleh Sin Lee, akan tetapi semenjak kekalahannya oleh kakek itu, ia mendapatkan pengalaman pahit sekali. Belum pernah ia mengalami kekalahan dalam perkelahian, maka semenjak ia kalah oleh kakek tua itu, ia makin tekun belajar ilmu silat dari ibunya. Tentu saja Kwa Hong yang tidak menyangka sesuatu, menjadi gembira sekali dan menurunkan seluruh kepandaiannya.

Watak keras yang dulu dimiliki Kwa Hong kiranya menurun pula kepada Sin Lee, malah lebih hebat lagi. Ketika ia berusia enam belas tahun, Sin Lee melakukan perbuatan yang amat merugikan dia sendiri dan ibunya. 

Sudah menjadi kebiasaan binatang peliharaan, sekali-kali tentu ingin bebas lepas tak terganggu. Demikian pula burung rajawali emas, biarpun kelihatan amat setia kepada Kwa Hong dan Sin Lee, namun adakalanya burung ini terbang pergi sampai beberapa hari tidak kembali. Mungkin burung ini terbang pergi mencari teman-temannya, atau mungkin juga mencari mangsa di tempat-tempat jauh. Ini hanya dugaan Kwa Hong dan Sin Lee saja. 

Padahal sebenarnya burung itu seringkali pergi ke tempat asalnya, yaitu di puncak sebuah gunung yang tak pernah didatangi manusia, tempat dimana ia tinggal sebelum ia bertemu dengan Kwa Hong dan kemudian dipeliharanya.

Pada suatu hari, seperti sudah sering kali tejadi, Sin Lee marah-marah karena rajawali itu tidak pulang. Sudah hampir sebulan rajawali itu tidak pulang dan telah payah Sin Lee mencari ke dalam hutan-hutan, bersuit-suit memanggil tanpa ada jawaban. Pemuda berusia enam belas tahun ini sampai tak enak makan tak enak tidur memikirkan burungnya. Dan ia menjadi marah bukan main ketika pada suatu pagi, burung itu datang!

“Keparat, kau benar-benar menggemaskan!” kata Sin Lee yang menyambut kedatangan burungnya. 

Tanpa banyak pikir lagi ia lalu… mencabuti bulu sayap burung itu. Bukan sekali-kali ia bermaksud untuk menyiksa, melainkan saking marahnya ia bermaksud untuk menghukum burung itu agar burung itu tidak mampu terbang lagi.

Burung adalah seekor binatang biasa, Kalau ia dibaiki tentu ia akan membalas kebaikan itu dengan kesetiaan. Akan tetapi kalau ia disakiti, siapapun yang melakukannya tentu akan dilawannya. Sekali dua kali bulunya dicabut ia diam saja hanya memekik-mekik, akan tetapi setelah Sin Lee terus saja mencabuti bulunya, ia menjadi marah dan menampar. Pemuda itu yang tidak menduga akan ditampar, terlempar tubuhnya.

“Setan, kau menantang berkelahi?” 

Bagi Sin Lee, siapapun yang menantangnya berkelahi pasti akan ia layani. Kemarahannya memuncak ketika burung yang ia anggap bersalah dan hendak ia hukum itu malah menyerangnya. 

“Kita lihat siapa yang akan menang! Kalau aku kalah. aku tidak akan mencabuti bulumu, akan tetapi kalau kau yang kalah, tidak hanya sayapmu, malah ekormu akan kucabut habis untuk hukumanmu!”

Kemudian ia menerjang maju, menyerang burungnya. Sudah menjadi kebiasaan Kwa Hong di waktu Sin Lee masih kecil untuk melatih anaknya itu bertempur melawan rajawali akan tetapi dalam latihan ini rajawali emas tidak bertempur sungguh-sungguh. 

Betapapun juga, makin besar anak itu, makin hebat kepandaiannya dan akhirnya dalam setiap latihan, akhirnya burung itulah yang kalah. Sin Lee pun tidak mau menyakitinya, apalagi membunuhnya, cukup ia dianggap menang kalau ia dapat menangkap leher burung dalam kempitannya membuat burung itu tak mampu bergerak lagi.







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)