RAJAWALI EMAS JILID 089

“Tidak sudi!!”

“Ah, kalau begitu ternyata kau sudah bosan hidup. Terpaksa kedua tanganku mengantar nyawamu ke neraka!” 

Li Eng cepat sekali menerjang maju dengan kedua tangannya memukul, susul-menyusul kearah pelipis dan lambung. Kong Bu yang marah sekali cepat menangkis kedua pukulan itu dan balas menyerang dengan sama keras dan dahsyatnya.




Tadinya Li Eng memandang rendah dan mengejek sedangkan Kong Bu juga memandang rendah dan marah-marah. Akan tetapi makin lama mereka bertempur, makin lenyaplah perasaan merendahkan lawan, lenyap pula rasa mengejek dan marah, terganti oleh rasa keheranan besar dan sedikit kekaguman.

Ternyata bahwa keduanya sama tangguhnya, atau hanya sedikit selisihnya! Kong Bu sama sekali tak pernah menyangka bahwa gadis ini demikian hebat ilmu silatnya, memiliki gerakan yang cepat bukan makin seperti burung walet saja sehingga kadang-kadang matanya berkunang. 

Dilain pihak, biarpun maklum bahwa pemuda itu bukan orang lemah, namun sama sekali diluar sangkaan Li Eng bahwa ternyata pemuda itu memiliki ilmu silat yang aneh, yang dapat mengimbangi Hoa-san Kun-hoat, malah memiliki tenaga dahsyat sehingga lengannya sakit-sakit dan panas tiap kali mereka beradu tangan. Mulailah ia merasa menyesal mengapa ia tidak bersenjata. Dengan pedang di tangan, kiranya ia takkan terdesak seperti ini. Mulailah nona yang cerdik ini mencari akal.

Ketika terdapat kesempatan baik, Li Eng berseru keras dan kedua kakinya bergerak dengan Ilmu Tendangan Soan-hong-tui (Tendangan Angin Puyuh), yang merupakan tendangan berantai dengan kedua kaki seperti kitiran angin. Yang dijadikan sasaran adalah pusar lawan. 

Menghadapi tendangan berantai yang amat berbahaya ini, Kong Bu berseru keras dan melompat mundur. Kesempatan inilah yang dipergunakan oleh Li Eng untuk melompat ke dekat meja dan menendang meja itu terbalik. Seketika keadaan menjadi gelap pekat karena lilin di atas meja itu terlempar dan apinya padam. Inilah yang dihendaki oleh Li Eng. Ia memiliki pendengaran tajam dan Iwee-kang yang sudah tinggi maka ia hendak mengandalkan dua kelebihan ini untuk melawan Kong Bu di dalam gelap!

Akan tetapi, sekali lagi ia kecele. Pemuda ini berseru keras, 
“Kau hendak lari kemana?” 

Dan dari angin gerakannya tahulah Li Eng bahwa pemuda itu menerjang ke arahnya seakan-akan memiliki mata yang dapat menembus kegelapan. Terpaksa ia mengerahkan ketajaman pendengarannya untuk menghadapi serbuan malam gelap ini. 

Kembali mereka bertempur, kini didalam gelap dan ternyata malah makin seru dari tadi. Karena keadaan gelap sama sekali, kedua orang muda yang berilmu tinggi itu bertempur hanya mengandalkan ketajaman pendengaran dan kegesitan gerakan saja. 

Makin lama makin terasa oleh Kong Bu akan kelihaian dara itu dan diam-diam ia merasa heran bagaimana kakeknya dapat menangkap gadis selihai ini dengan mudah. Apalagi berdua dengan gadis lain yang tidak ia ketahui sampai dimana tinggi kepandaiannya. Kalau dilihat keadaannya sekarang agaknya biarpun kakeknya sendiri, belum tentu dapat mengalahkan gadis ini dengan mudah.

Dengan penasaran sekali Kong Bu menggereng dan mengeluarkan ilmu yang paling ia andalkan, yaitu Yang-sin-hoat. Ilmu ini adalah inti ilmu Yang-sin Kiam-sut yang dahulu didapatkan oleh Song-bun-kwi dan telah diturunkan kepada pemuda ini. Yang-sin-hoat mengandalkan tenaga kasar dan ketika pemuda ini mainkan Yang-sin-hoat, Li Eng menjadi kewalahan. 

Sebagai seorang wanita, oleh kedua orang tuanya Li Eng dilatih ilmu-ilmu yang berdasarkan kehalusan, disesuaikan dengan keadaan tubuh dan sifat wanita. Maka ketika tadi lawannya menggunakan Iwee-kang, ia masih dapat melayani dengan baik. Sekarang, begitu lawannya berkelahi secara kasar dan keras, dimana pertemuan tenaga, mungkin dapat mematahkan tulang dan melecetkan kulit, Li Eng menjadi sibuk sekali. Ia mencari kesempatan dan begitu terdapat lowongan gadis ini melompat keluar dari kamar terus lari keluar dari kelenteng.





“He, kau hendak lari kemana?” 

Kong Bu mengejar dengan lompatan keras sekali sehingga sekaligus ia dapat menyusul Li Eng. Dengan lompatan yang cepat sekali ini ia telah menubruk tubuh Li Eng dari belakang. Segera ia menggunakan kedua lengan untuk menangkapnya dan dua orang itu terguling roboh di luar kelenteng, bergumul di atas tanah. 

Namun Li Eng kalah tenaga, juga ia disikap dari belakang dengan mendadak, maka ia tidak berdaya dan Kong Bu berhasil menotok punggungnya, membuat gadis itu lemas tak dapat menggerakkan kaki tangannya lagi.

Kong Bu melepaskan Li Eng dan bangkit berdiri, mengatur napas. Ia terengah-engah dan lelah, juga tubuhnya sakit disana-sini. Harus diakui bahwa baru kali inilah ia betul-betul berkelahi melawan seorang yang amat tangguh, Sekali lagi ia memandang kearah dimana Li Eng rebah miring tak bergerak, dibawah sinar bulan seperti seorang gadis sedang tidur saja, ataukah seekor harimau betina sedang mendekam?

“Gadis liar!” gerutunya sambil mengelus lehernya yang mengeluarkan darah, terluka oleh kuku-kuku tangan Li Eng ketika bergumul tadi. 

Ia lari mengambil tali pengikat tangan Li Eng, keluar lagi dan setelah menyambung-nyambung tali yang kuat itu, ia membelenggu lagi kedua tangan Li Eng. Setelah itu ia membebaskan totokannya dan membentak,

“Hayo bangun berdiri!”

Begitu terbebas dari totokan, dengan marah meluap-luap Li Eng meloncat bangun dan langsung kedua kakinya yang bebas itu mengirim tendangan berantai!

Kong Bu kaget dan dengan gugup ia mengelak kesana kemari karena tendangan-tendangan itu betul-betul mengarah bagian tubuh yang berbahaya dan mematikan. Akhirnya ia dapat menyambar kaki kiri Li Eng dan sekali dorong tubuh Li Eng roboh lagi.

“Gadis liar!” lagi-lagi ia memaki.

Li Eng sudah meloncat bangun lagi, berdiri tegak, kepala dikedikkan, mata berapi-api, gigi digigit, marah memenuhi dadanya.

“Hayo jalan, ikut denganku!” kata Kong Bu lagi.

“Tidak sudi! Mau bunuh boleh bunuh!” balas Li Eng, tak kalah ketus.

“Kepala batu!” 

Kong Bu memaki lagi dan tiba-tiba sebelum Li Eng sampai menduga apa yang akan dilakukannya, pemuda ini menubruk ke depan, langsung menangkap kedua kaki gadis itu dan mengangkat tubuhnya, terus dipanggul di atas pundaknya. 

Li Eng meronta-ronta, menendang-nendang, akan tetapi karena kedua tangannya diikat dan kedua kakinya dipeluk keras-keras oleh pemuda yang besar sekali tenaganya itu, ia tidak berhasil melepaskan dirinya. Akan tetapi, dengan menggerak-gerakkan tubuhnya bagian atas, mulutnya berhasil mendekati pundak dan dengan gemas ia menggigit pundak pemuda itu.

“Aduh… perempuan liar!” 

Kong Bu terpaksa melepaskan tubuh Li Eng yang terpelanting ke atas tanah. Pemuda ini memegangi dan mengusap-usap pundaknya yang luka berdarah dan bajunya robek tertembus gigi yang kecil-kecil putih akan tetapi kuat bukan main itu. 

Sakit sekali pundaknya, perih dan panas. Dengan marah ia maju lagi, mengangkat tangan hendak memukul pecah kepala Li Eng, akan tetapi entah bagaimana, ketika bertemu pandang dengan sepasang mata yang berapi-api dan penuh keberanian itu, kepalannya berubah menjadi totokan dan kembali Li Eng telah tertotok jalan darahnya, lemas dan tak dapat bergerak lagi.

“Hemmm, perempuan liar. Anak murid Hoa-san-pai, cantik jelita, muda belia, lihai tapi berhati palsu dan berwatak hina. Kau harus disiksa dulu sebelum dibiarkan mati. Keparat, rasakan kau nanti!” 

Ia lalu mengangkat tubuh Li Eng yang sekarang tidak mampu meronta lagi itu, lalu memanggulnya.

Tiba-tiba ia berseru, “Ihhhh!” dan melepaskan tubuh Li Eng yang untuk kesekian kalinya lagi-lagi terbanting di atas tanah. Apa yang membuat pemuda itu berseru kegelian dan melepaskan tubuh gadis itu? Li Eng sendiri tidak mengerti. 

Sebetulnya adalah karena ketika memanggul, kebetulan sekali sebagian pundak Li Eng yang tak tertutup bajunya yang sudah koyak-koyak itu menumpang pada pundak dan leher Kong Bu, tepat di bagian baju yang robek oleh gigitan Li Eng tadi. Sentuhan kulit halus hangat pada kulit leher dan pundaknya itulah yang membuat Kong Bu kaget dan geli tubuhnya serasa dimasuki aliran listrik yang membuat ia menggigil dan seketika membanting tubuh Li Eng keatas tanah. 

Pemuda itu kini berdiri dengan leher terasa tebal dan tengkuknya berdiri semua. Akan tetapi mukanya terasa panas dan jantungnya berdebar keras. Perlahan-lahan dilepasnya baju luarnya, lalu diselimutkan pada tubuh atas Li Eng. Setelah melihat bahwa pundak gadis itu yang telanjang telah tertutup rapat, barulah ia membungkuk dan memanggul gadis itu kembali, dibawa lari secepatnya dari tempat itu, memasuki hutan.

Sementara itu, tanpa terasa selama dua orang ini ribut-ribut tadi, malam terganti fajar dan ketika Kong Bu memanggul Li Eng berlari-lari, ayam hutan mulai berkokok. Namun pemuda itu berlari terus, menuju kearah tertentu. Pemuda itu tidak berkata apa-apa, juga Li Eng tidak mengeluarkan suara sungguhpun kemarahan gadis itu membuat kedua matanya meneteskan air mata. Ia tidak takut, hanya marah dan penasaran mengapa ia tidak mampu mengalahkan laki-laki gila ini.

Tiba-tiba terdengar suitan saling bersahut di dalam hutan itu. Cuaca mulai remang-remang karena dalam hutan penuh embun yang dingin menyusupi tulang-tulang. Tak lama kemudian suara suitan makin sering dan makin keras. Ketika tiba di dalam hutan yang penuh pohon-pohon besar, mendadak berlompatan belasan orang dari balik batang pohon dan Kong Bu terkurung oleh enambelas orang laki-laki yang tinggi besar, bercambang bauk dan membawa senjata tajam. Melihat sikap mereka yang kasar, mudah diduga mereka tentulah sebangsa perampok.

Kong Bu tidak menjadi gugup, ia menurunkan tubuh Li Eng setelah terlebih dulu membebaskan totokannya pada punggung gadis itu. Tadinya saking marah dan lelahnya, Li Eng hampir pulas dalam panggulan pemuda itu, sekarang ia kaget dan sadar ketika merasa tubuhnya terguling diatas tanah. Cepat ia menggerakkan kaki dan girang mendapat kenyataan bahwa ia tidak lemas tertotok lagi, maka ia meloncat berdiri. Ia terheran-heran melihat belasan orang laki-laki kasar itu berdiri disitu dengan menyerigai dan sikap mengancam.

“Kalian menghadang perjalananku ada keperluan apa ?” 

Kong Bu membentak, alisnya yang tebal menghitam itu berkerut tanda kesal hati menghadapi gangguan ini.

Sekarang diantara mereka, yang paling tinggi, melangkah maju dan tertawa bergelak sambil memandang ke arah Li Eng yang berdiri dengan kedua tangan terbelenggu 

“Ha-ha-ha, kiranya saudara seorang ahli pemetik bunga! Wah, kawan-kawan, kita kecele kali ini !” 

Belasan orang laki-laki mengeluarkan suara kecewa, akan tetapi ada yang ketawa-tawa dan memuji-muji kecantikan Li Eng.

“Sebetulnya kalian ini mau apakah ?” 

Kong Bu membentak lagi, tak senang hatinya mendengar pujian-pujian tentang kecantikan Li Eng, dan lebih tak senang lagi melihat sikap mereka yang ceriwis terhadap gadis tawanannya.

“Hai, saudara muda, karena sealiran, kami takkan mengganggu. Kau boleh pergi melanjutkan perjalananmu akan tetapi kau tinggalkan bunga ini untuk kami, hitung-hitung tanda mata dan tanda persahabatan,” kata pula pemimpin gerombolan itu memandang kepasa Li Eng dengan mata berminyak.







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)