RAJAWALI EMAS JILID 094

Sekarang kita perlu menyelidiki tentang keadaan Kun Hong. Betulkah pemuda ini telah ditolong setan atau ditolong seorang sakti? Seperti telah kita ketahui, Kun Hong diperiksa oleh Tan-taijin yang dahulu adalah sahabat baik tokoh-tokoh Hoa-san-pai dan karenanya merasa suka dan simpati kepada putera Ketua Hoa-san-pai ini. 

Karena Tan-taijin ingin sekali menolong dua orang gadis murid Hoa-san-pai itu dari cengkeraman Pangeran Mahkota, maka ia menyuruh para pengawal menahan kembali Kun Hong dalam penjara dengan pesan agar Kun Hong diperlakukan sebagai tamu.

Betapapun juga, para pengawal yang tidak mau mengambil resiko terlalu besar tentu saja tidak membiarkan Kun Hong bebas. Pemuda ini tidak dibelenggu, akan tetapi dimasukkan kamar tahanan yang terkunci dari luar dan pemuda ini kelihatan dari luar melalui sebuah jendela yang dipalangi ruji-ruji besi.

Setelah dimasukkan lagi kedalam kamar tahanan. Kun Hong merenung. Celaka, pikirnya, sama sekali ia tidak sangka akan begini berlarut-larut urusan itu. Ia memikirkan nasib dua orang keponakannya. Bagaimana kalau pangeran mata keranjang itu mempergunakan kekuasaannya dan melakukan paksaan? Ah, dialah yang bertanggung jawab atas keselamatan dua orang keponakannya. Bukankah mereka itu hanya dua orang gadis muda dan bukankah dia menjadi pamannya? 

Celaka, semua adalah salahku. Seandainya mereka tidak bertemu dengan aku, kiranya mereka takkan mengalami nasib seperti sekarang ini. Ah, bagaimanapun juga aku harus menolong mereka, menolong mereka bebas dari cengkeraman Pangeran Mahkota. Harus! Aku harus menolong mereka. Tapi, bagaimana caranya?

Ketika seorang pengawal membuka pintu kamarnya membawa satu baki penuh dengan hidangan yang lezat, teringatlah Kun Hong peristiwa dengan Sin-eng-cu Lui Bok yang dahulu menyihirnya sehingga roti kering berubah menjadi roti lunak dan air tawar berubah menjadi arak! Mengapa tidak ia coba kepandaian ini? 

Sudah lama ia mempelajari ilmu menguasai semangat yang kitabnya ia terima dari kakek sakti itu. Belum pernah ia mencobanya, akan tetapi sekarang menghadapi malapetaka yang mengancam kedua orang keponakannya, terpaksa harus ia coba dalam usahanya menolong mereka.

“Orang muda, silakan makan. Masih baik nasibmu bahwa Tan-taijin memerintahkan supaya kau diperlakukan dengan baik, kalau tidak, hemm… jangan harap bisa mendapat hidangan seperti ini,” kata pengawal itu yang merasa mendongkol juga, karena biasanya kalau ada seorang tahanan, ia dan teman-temannya mendapat kesempatan untuk memeras tahanan itu sehingga keluarga si tahanan mengeluarkan “uang arak” agar si tahanan diperlakukan baik-baik. Terhadap Kun Hong mereka tidak bisa memeras, karena takut kepada Tan-taijin.

Kun Hong tiba-tiba bangkit berdiri dari bangkunya dan membentak sambil memandang tajam, 

“He, pengawal aku Pangeran Mahkota, kau berani bersikap kurang ajar? Apa kau minta dihukum mati?”

Pengawal itu kaget, memandang dan… matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. Yang berdiri di depannya bukanlah pemuda itu tadi, melainkan Pangeran Mahkota yang memandang marah. Cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut. 

“Ini… ah, bagaimana… hamba mohon beribu ampun….” katanya gagap dengan seluruh tubuh menggigil ketakutan.

Girang sekali hati Kun Hong ketika melihat percobaan ilmunya itu berhasil. Ia telah berhasil menguasai semangat dan pikiran pengawal ini dengan pengaruh ilmunya. 

“Lekas panggil semua pengawal kesini. Cepat!” bentaknya. 

Pengawal itu mengangguk-angguk lalu merangkak mundur, keluar dari kamar itu dan berlari-lari memanggil teman-temannya. Sementara itu Kun Hong mengerahkan seluruh kekuatan ilmunya untuk menguasai belasan orang pengawal yang memasuki kamar tahanan itu. Mereka semua menjatuhkan diri berlutut di dalam kamar itu, seperti pengawal tadi mereka mohon ampun! 

“Karena orang muda itu tidak bersalah, aku telah membebaskannya. Kalian ceroboh benar, sampai masukku dan keluarnya orang muda itu tidak melihat. Hemm! kalian harus dihukum,” bentaknya.

Belasan orang itu mengangguk-angguk minta ampun. Takut bukan main hati mereka karena Pangeran Mahkota terkenal bengis terhadap para pengawal.





“Sementara kalian tinggal di kamar ini, jangan keluar. Berikan kuncinya!” 

Pengawal yang mengantar makanan tadi cepat merangkak maju dan menyerahkan kunci kamar itu. 

Kun Hong menyambarnya, terus berjalan keluar dengan tenangnya dan mengunci pintu kamar tahanan itu dari luar. Kemudian, seperti orang berjalan keluar dari rumahnya sendiri, dia keluar dari rumah tahanan itu tanpa ada yang merintanginya karena semua pengawal sudah ia keram dalam kamar tahanan. Ia berjalan terus di jalan besar, bercampur dengan orang banyak dan pergi menuju ke Istana Kembang. 

Akan tetapi alangkah susah hatinya ketika ia mendengar peristiwa hebat yang menjadi buah bibir penduduk kota raja, yaitu tentang seorang kakek yang menyerbu Istana Kembang, membunuhi para pengawal dan seisi istana, dan menculik pergi dua orang keponakannya. 

Ia bingung dan tidak tahu siapakah kakek itu, penolongkah atau penjahatkah? Kalau dilihat bahwa dua orang keponakannya dibebaskan dari istana, berarti menolong, akan tetapi kalau diingat bahwa kakek itu amat kejam, membunuhi semua pengawal dan pelayan, benar-benar mengerikan sekali, seperti bukan perbuatan manusia.

Kemana aku harus mencari mereka? Kemana gerangan kakek iblis itu membawa pergi Li Eng dan Hui Cu? Benar-benar gelisah hati Kun Hong memikirkan nasib dua orang keponakannya itu dan menyesallah ia mengapa ia mengajak mereka menerima undangan Pangeran Mahkota.

Alangkah gembira tadinya mereka bertiga melakukan perjalanan, dan sekarang, gara-gara pangeran mata keranjang, mereka berpisah dan ia tidak tahu harus menyusul kemana.

Kemana lagi kalau tidak ke Thai-san, pikirnya, Li Eng dan Hui Cu bermaksud hendak pergi ke Thai-san. Bukan tidak mungkin setelah ditolong oleh kakek itu, mereka melanjutkan perjalanan ke Thai-san. Hanya satu hal yang membuat ia ragu-ragu, kalau dua orang gadis itu selamat, mengapa mereka itu tidak berusaha menolongnya? Ia merasa yakin bahwa dua orang keponakannya itu pasti tidak akan meninggalkannya begitu saja. 

Tidak ada lain jalan lagi bagiku, pikirnya, selain melanjutkan perjalanan ke Thai-san. Syukur kalau disana aku dapat berjumpa dengan mereka, kalau tidak, aku akan minta pertolongan Paman Tan Beng San untuk menggunakan kekuatannya sebagai tokoh besar dunia persilatan, untuk mencari dan menolong Li Eng dan Li Cu.

Setelah mendapat keterangan tentang jurusan jalan menuju ke Thai-san, Kun Hong tidak mau membuang waktu lagi, langsung ia melakukan perjalanan secepatnya menuju ke Thai-san. Sekarang ia melakukan perjalanan seorang diri, maka ia melakukan perjalanan cepat. 

Keindahan pemandangan di tengah jalan tidak terasa indah lagi karena hatinya terganggu oleh persoalan hilangnya Li Eng dan Hui Cu yang masih belum ia ketahui nasibnya. 

Tanpa ia sadari, Kun Hong sekarang telah memiliki tubuh yang amat kuat dan dapat melakukan perjalanan dengan cepat. Hatinya risau kalau ia teringat akan pengalaman-pengalamannya di kota raja. Menguatirkan keadaan Li Eng dan Hui Cu, juga kecewa dan mendongkol sekali kalau ia teringat akan pedang Ang-hong-kiam yang dirampas oleh pemuda pesolek yang kurang ajar di rumah Tan-taijin itu. 

Kalau saja ia tidak ingin cepat-cepat ke Thai-san untuk mencari kalau-kalau dua orang keponakannya selamat berada disana, tentu ia akan mencari pemuda tampan yang menampar pipinya itu di rumah Tan-taijin untuk ia minta kembali pedangnya. 

Biarlah, sepulangnya dari Thai-san, kalau semua urusan ini sudah beres, dia pasti akan mencari pemuda itu di rumah Tan-taijin dan dengan baik-baik ia akan minta kembali pedangnya, kalau tidak diberikan, terpaksa ia akan menggunakan kekerasan. Pedang itu adalah pemberian dari gurunya Bu Beng Cu, dan biarpun ia tidak suka membawa-bawa apalagi menggunakan pedang, ia tahu bahwa pedang itu benda pusaka dan akan ia berikan kepada ayahnya.

Ketika ia mulai memasuki sebuah hutan yang besar dan penuh ditumbuhi pohon-pohon raksasa, tiba-tiba dari jauh ia melihat tiga bayangan orang berlari cepat sekali. Semenjak mengalami hal-hal yang pahit di kota raja, Kun Hong menjadi hati-hati. Cepat ia menyelinap ke belakang sebatang pohon besar dan mengintai. 

Tiga orang itu makin dekat dan berdebarlah hati Kun Hong ketika mengenal mereka sebagai tiga orang diantara tujuh jagoan istana pengawal Pangeran Mahkota! Ia mengingat-ingat tujuh orang jagoan yang pernah diperkenalkan kepadanya dan tahu bahwa yang sekarang berlari cepat memasuki hutan itu adalah Tiat-jiu Souw Ki Si Tangan Besi yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam bersama sepasang saudara kembar Ho-pak Siang-sai (Sepasang Singa dari Ho-pak). 

Setelah mereka lewat, Kun Hong diam-diam mengikuti mereka dari belakang, menyelinap diantara pepohonan. Mereka itu adalah kaki tangan Pangeran Mahkota, sangat boleh jadi kedatangannya ini ada hubungannya dengan dua orang keponakannya.

Heran hati Kun Hong ketika ia mengikuti tiga orang itu sampai di tengah hutan ia melihat sebuah sungai besar dan di pinggir sungai itu diantara pohon-pohon tampak bangunan tembok. Kiranya di tempat terpencil ini terdapat bangunan yang amat berbeda dengan dusun-dusun biasa, pikirnya. Ia mengikuti terus, ketika tiga orang itu berhenti di depan sebuah jembatan, iapun berhenti, bersembunyi dan mengintai.

Ternyata bahwa bangunan-bangunan yang besar-besar berjumlah lima terkurung pagar tembok yang tinggi dan di sekeliling pagar tembok itu terdapat anak sungai yang agaknya menjadi cabang sungai besar yang mengalir di sebelah utara dusun ini. 

Jalan dari darat menuju ke dalam dusun hanya dihubungkan oleh jembatan kecil itu, jembatan yang bentuknya seperti bunga teratai, terbuat dari kayu berukir indah dan diatas jembatan ini terdapat belasan orang penjaga yang berpakaian seperti pendeta Agama To. 

Kun Hong memperhatikan dan menduga-duga. Apakah dusun itu merupakan sekumpulan kuil besar dari para tosu. Akan tetapi, biasanya tosu-tosu kuil pegangannya hanya kitab-kitab, tasbeh dan paling-paling kipas atau kebutan, kenapa belasan orang tosu yang menjaga di jembatan itu tubuhnya tegap-tegap dan semua membawa senjata pedang atau golok?

Tiga orang pengawal Pangeran itu berdiri di mulut jembatan dan agaknya mereka tidak diperkenankan masuk. Kun Hong mendengar suara Tiat-jiu Souw Ki yang parau dan keras,

“He, para tosu Ngo-lian-kauw! Kalian menganggap kami orang apakah? Bukalah mata dan telingamu baik-baik, aku adalah Tiat-jiu Souw Ki dan dua orang temanku ini adalah Ho-pak Siang-sai! Kami mana bisa bicarakan urusan dengan kalian? Hayo lekas kalian beritahukan kepada Ngo-lian-kauwcu (Ketua Perkumpulan Agama Lima Teratai), bahwa kami bertiga adalah utusan-utusan Pangeran Mahkota, perlu ketemu dan bicara dengan Toat-beng Yok-mo!”

Jelas sekali kelihatan para tosu itu kaget dan gentar, juga Kun Hong ketika mendengar disebutnya nama Yok-mo, menjadi kaget dan heran. Apakah kakek itu berdua di tempat ini?

“Ah, kiranya para busu istana utusan Pangeran Mahkota yang datang. Harap Sam-wi (Tuan Bertiga) sudi menanti sebentar, kami hendak melaporkan kepada Kauwcu (Ketua Agama) tentang maksud kedatangan Sam-wi”, kata para tosu itu dengan sikap berubah hormat sekali.

Tiat-jiu Souw Ki dan dua orang temannya kelihatan tidak puas dan uring-uringan, akan tetapi karena mengindahkan nama besar dari Ngo-lian-kauw, mereka menanti di ujung jembatan dengan tidak sabar. 

Tak lama kemudian terdengar bunyi seruling ditiup orang, banyak sekali sehingga suaranya amat nyaring dan meriah. Dari pintu di ujung jembatan sebelah dalam itu muncullah pasukan terdiri dari dua puluh orang wanita yang berpakaian lima warna dan di kepala masing-masing anggauta pasukan terhias bunga-bunga teratai. 

Rata-rata para wanita ini cantik dan usianya takkan lebih dari tiga puluh tahun. Setiap anggauta pasukan memegang pedang telanjang yang melintang di depan dada, nampak gagah dan berpengaruh sekali. 

Di tengah pasukan ini berjalan seorang wanita tua. Umurnya takkan kurang dari lima puluh tahun, namun mukanya yang memang cantik itu masih dibedaki dan diberi merah-merah, pakaiannya mewah sekali, di punggungnya tergantung pedang dan pinggangnya diikat sehelai sabuk merah. Inilah Ketua Ngo-lian-kauw, Ngo-lian-kauwcu yang berjuluk Kim-thouw Thian-li (Dewi Kepala Emas) yang amat terkenal di dunia kang-ouw. 

Di sebelahnya berjalan seorang kakek bongkok, umurnya sudah tua sekali, mulutnya yang selalu melongo itu sudah ompong semua.sedangkan matanya besar sebelah. Kakek ini memegang sebatang tongkat hitam yang bengkak-bengkok. Inilah dia Toat-beng Yok-mo yang beberapa tahun terakhir ini mempunyai hubungan erat dengan Ketua Ngo-lian-kauw.







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)