RAJAWALI EMAS JILID 110

“Kau tidak adil sekali menyumpah dan memaki ayahmu sendiri. Dia seorang pendekar besar, seorang gagah perkasa, seorang berbudi mulia yang nasibnya buruk, patut dikasihani. Akan tetapi kau puteranya, kau malah memaki-makinya dan hendak menantangnya. Cih, memualkan perutku! Kau mau mendengar kenyataan? Nah, dengarlah. Tan Beng San sama sekali tidak tergila-gila kepada perempuan Hoa-san-pai, atau kepada perempuan yang manapun juga, kecuali kepada Kwee Bi Goat, mendiang ibumu. Biarpun kakekmu telah memperlakukannya dengan jahat, tetap saja, dia mencinta Kwee-Bi-Goat dengan sepenuh jiwa raganya. Memang tak dapat disangkal bahwa Tan Beng San pernah mengadakan hubungan dengan Kwa Hong, akan tetapi hal itu terjadi sebelum ia menjadi suami ibumu, pula hal itu terjadi karena muslihat musuh, karena keracunan dan dalam keadaan tidak sadar. Biarpun sudah terjadi hal itu, dia menolak menjadi suami Kwa Hong dan tetap mencari ibumu lalu menikah dengan ibumu atas dasar saling cinta yang suci murni….”

Cui Bi berhenti sebentar dan Kong Bu sudah menjadi begitu tertarik sehingga tanpa terasa lagi iapun duduk diatas batu, didepan pemuda tampan itu. Belum pernah ia mendengar cerita tentang ayah bundanya sejelas ini. Biasanya kakeknya hanya mengatakan secara singkat bahwa ayahnya telah tergila-gila wanita lain sehingga ibunya mati karena duka.

Melihat perhatian Kong Bu itu, Cui Bi melanjutkan ceritanya penuh semangat, matanya berapi-api, kedua pipinya merah.

“Lalu terjadinya malapetaka menimpa, Kwa Hong ternyata telah mengandung dari perhubungan yang berlangsung di luar kesadaran Tan Beng San itu. Malah Kwa Hong yang tak tahu malu itu mengunjungi ibumu di Min-san, dan melahirkan anaknya disana. Hal itu terjadi ketika kakekmu sedang merantau dan ayahmu, Tan Beng San itu, sedang sibuk membantu perjuangan. Setelah Kwa Hong pergi bersama anaknya, ibumu menjadi berduka sekali, maklum hati wanita, penuh sakit hati, penuh iri dan cemburu, merasa bahwa cinta kasihnya yang mendalam itu dicemarkan. Dan… saking tak kuasa menahan kesedihan hatinya, ia meninggal dunia setelah melahirkan kau….”

Sampai disini suara Cui Bi terdengar serak. Jelas membayangkan keharuan hatinya. Kong Bu nerasa dadanya sesak, sedu-sedan naik ke kerongkongannya, akan tetapi ia menguatkan hati, menggigit bibir, hanya kedua matanya saja yang menjadi merah, sikapnya menakutkan. 

“Kau tahu bagaimana keadaan ayahmu ketika ia mendengar tentang kematian isterinya yang tercinta itu? Dia menjadi… menjadi gila….” kembali suara itu parau dan lirih, dan Cui Bi terpaksa berhenti karena terbatuk-batuk, agaknya menahan keharuan hatinya.

“Gi… gila….??” Kong Bu sempat bertanya diantara sedu-sedan yang naik lagi ke kerongkongannya. 

“Ya, gila, atau hilang ingatan. Pada waktu itu… hemm, diantara dia dan… Cia Li Cu…. Isterinya yang sekarang,”

“Ya, diantara mereka itu terjalin persahabatan yang amat erat, namun jangan salah artikan. Tan Beng San tetap tidak dapat mencinta lain orang kecuali isterinya, ini terbukti ketika mendengar kematian isterinya. Melihat hal ini, Cia Li Cu amat terharu dan harus diakui Cia Li Cu mencintanya sepenuh jiwa. Ia hendak menghibur pendekar ini dan apa yang terjadi? dalam pandangan Tan Beng San yang sudah hilang ingatan itu, Li Cu kelihatan seperti ibumu yang sudah meninggal dan seterusnya menganggap bahwa Cia Li Cu adalah Kwee Bi Goat!”

“Ahh….” Kong Bu menahan napas, amat tertarik dia dan keharuan bergumul di hatinya.

“Cia Li Cu, puteri Raja Pedang Tanpa Tanding Cia Hui Gan, demi cintanya mengorbankan nama baiknya, malah nekat menantang ayahnya, memelihara Tan Beng San dengan hati hancur karena melihat orang yang dicintanya itu menganggapnya sebagai wanita lain. Adakah pengorbanan lebih besar dari ini? Adakah cinta kasih yang lebih besar dari ini?” 

Cui Bi nampak bangga. Kong Bu mulai bingung. Kalau betul begini jalan ceritanya, ah ayahnya tidak bersalah, malah patut dikasihani.

“Nah, kau tahu, sampai sekarangpun Cia Li Cu yang kini sudah menjadi isteri sah dari Tan Beng San yang akhirnya mendapatkan kembali ingatannya dan mengawini Cia Li Cu, sama sekali tidak ada hati yang memusuhi mendiang Kwe Bi Goat ibumu, apalagi kau sebagai putera suaminya yang semenjak kecil dibawa lari oleh kakekmu. Kau dicari-cari oleh ayahmu, tapi tidak bertemu dan kakekmu hendak mengadu kau dengan ayahmu sendiri.”

Kong Bu menundukkan mukanya, mukanya merah sekali dan ia berusaha menahan sedu-sedan yang sudah hampir meledak di dadanya. 

“Ibu…. Ayah….” bisiknya, keadaannya mengharukan sekali. 

Pemuda itu teringat betapa ia tidak pernah melihat ibunya yang sudah mati, juga tidak pernah melihat ayahnya yang harus diakui amat mendatangkan rasa rindu di hatinya. Namun bujukan-bujukan kakeknya membuat ia membenci ayahnya yang disangkanya menyeleweng dan menyakiti hati ibunya. Siapakah yang benar? Cerita kakeknya ataukah cerita orang ini? Siapakah orang ini? Apakah dia tidak berbohong? 

Kun Hong pura-pura merasa ragu, akan tetapi agaknya sinar matanya yang sudah terang dan sama sekali tidak mengandung kemarahan itu dapat dilihat oleh pemuda tadi, buktinya dengan jelas tampak muka yang tampan itu menjadi berseri.





Ia cepat mengangkat kepala memandang dan kagetlah dia, pemuda tampan di depannya itu memandang kepadanya dengan mata merah, air mata membanjir di kedua pipinya, dan bibirnya yang gemetar itu dikatupkan menahan isak tangis! 

Wajah Kong Bu pucat sekali, mukanya membayangkan hati yang hancur dan seorang yang bagaimanapun keras hatinya sekalipun tentu akan kasihan melihatnya pada saat itu.

Makin deras air mata mengalir sepanjang pipi Cui Bi dan tiba-tiba pemuda tampan ini memegang kedua tangan Kong Bu, bibirnya berbisik perlahan dan menggetar,

“Aduh…, kasihan sekali kau… Koko…”

Kong Bu tersentak kaget dan balas memegang tangan pemuda itu. 
“Kau… kau siapakah….?” Tentu saja ia heran dan kaget mendengar pemuda itu memanggilnya koko (kakak).

Dengan lengan bajunya pemuda tampan itu mengusap air matanya di kedua pipinya sebelum menjawab, akan tetapi air matanya mengalir terus.

“Aku… aku adalah adik tirimu…. aku… aku anak dari ayahmu dan ibuku adalah Cia Li Cu….”

Kong Bu merenggutkan tangannya terlepas, meloncat mundur sambil berdiri dan berseru, suaranya keras sekali, 

“Bohong! Kau penipu bohong! Sudah sering aku mendengar bahwa… Ayah dan Cia Li Cu hanya mempunyai seorang anak tunggal, seorang anak perempuan… bagaimana kau ini….?”

Cui Bi sudah berdiri pula, air matanya masih membasahi kedua pipinya.
“Koko, tidak tahukah kau bahwa aku….?” 

Ia menggosok kedua anak telinganya sehingga tampak lubang anak telinga yang tadinya ditutup semacam bedak, dibukanya penutup kepala sehingga terurailah rambutnya yang panjang dan halus berombak.

Muka Kong Bu makin pucat. 
“Kau… kau seorang gadis….?”

“Koko, tak dapatkah melihat bahwa ilmu pedangku adalah warisan Ayah dan Ibu? Koko, Ayah banyak menderita kalau memikirkan kau, kau amat dirindukan Ayah… juga Ibu, percayalah, Ibu sama sekali tidak menganggap kau sebagai orang lain, demikian pula aku… kau sebagai kakakku sendiri….”

Tak dapat tertahan lagi, air mata yang sejak tadi sudah menekan dikedua mata Kong Bu, kini berlinang jatuh menetes, pemuda itu menutupkan kedua tangan di depan muka untuk menyembunyikan tangis, namun air mata yang tak banyak itu menetes keluar dari celah-celah jari tangannya dan sedu-sedan yang ditahan-tahannya membuat kedua pundaknya yang bidang itu bergerak-gerak.

“Koko….” suara halus itu dekat sekali karena gadis itu sudah mendekatinya.

Kong Bu menurunkan kedua tangan, melihat wajah yang memandang penuh iba, penuh permohonan agar diakui sebagai saudara, dengan air mata membasahi pipi.

“Moi-moi (adik perempuan)….” 

Kong Bu memeluk dan mendekap kepala gadis itu ke dadanya, kepalanya berdongak dan kedua matanya meram, air matanya bertetesan keatas rambut Cui Bi. 

“Ibu… semoga kau mengampuni anakmu….”

Sampai beberapa lama dua orang muda seayah ini saling peluk dan bertangisan. Akhirnya keduanya dapat menguasai hati masing-masing dan dengan agak malu-malu mereka melepaskan pelukan dan saling pandang. Setelah keharuan mereda, mereka saling memandang kagum dan perlahan-lahan tersembullah senyum di bibir Cui Bi yang ternyata adalah seorang gadis yang amat cantik jelita itu.

“Koko, alangkah bahagianya hatiku. Ayah dan Ibu setiap hari menangis kalau mengingat kau. Mereka amat berkuatir kalau-kalau hatimu sudah diracuni, kuatir kalau-kalau kau akan datang dan mengganggu Ayah Ibu sebagai musuh besar. Syukur bahwa kau ternyata memiliki jiwa ksatria, seperti yang diharapkan ayah karena kata Ayah, ibumupun seorang yang berbudi halus.”

“Akupun bahagia sekali dapat bertemu dengan kau, Moi-moi. Ah, alangkah bodohku….” ia menghela napas panjang. “Aku memang tahu akan watak Kakek yang keras dan aneh… tapi diam-diam aku sudah tidak cocok. Baiknya aku bertemu dengan kau dan insyaf. Ah, kalau tidak… bagaimana mungkin aku dapat menjual lagak memamerkan kebodohanku di depan ibumu, sedangkan terhadap kau saja aku sudah kalah jauh?”

Cui Bi tertawa dan memegang tangan kanan kakaknya. 
“Iiih, kau memang pandai merendah. Siapa bilang kau akan kalah jauh? Hemmm, sedangkan kau belum menerima apa-apa dari Ayah saja, sudah setengah mampus aku melawanmu, apalagi kalau kau sudah menerima warisan dari ayah, pendeknya aku bukan apa-apa bagimu.”

“Moi-moi, kau manis sekali, ah, alangkah bangga hatiku mempunyai adik seperti kau!” 

Kong Bu meraba dagu gadis itu dengan hati penuh kasih sayang. Cui Bi melengos, manja. 

“Ah, bisa saja kau, siapa tidak tahu bahwa aku jelek? Kaulah yang gagah perkasa, benar-benar Ayah akan menari kegirangan kalau nanti melihatmu. Eh, Koko, bagaimana kita ini? Kakak beradik tidak saling mengetahui namanya!” Keduanya berpandangan lalu tertawa bergelak!

Memang, dua orang ini adalah keturunan orang sakti dan aneh, maka watak mereka juga aneh. Lebih-lebih jiwa muda mereka membuat mereka mudah merasa gembira.

“Namaku Kong Bu, Tan Kong Bu. Namamu siapa, adikku yang manis?”

“Aku Cui Bi, Tan Cui Bi.”

“Bi-moi, kenapa kau menyamar sebagai seorang pemuda? Ha, hampir saja aku kena terpedaya olehmu. Benar-benar tidak dapat diduga bahwa kau seorang gadis yang manis, pandai benar kau menyamar sebagai seorang pemuda tampan dan ganteng lagi pesolek. Sampai-sampai lubang daun telingamu dapat kau tutupi dengan baik, tidak kentara sama sekali.”

Heran sekali Kong Bu melihat wajah adiknya yang tadinya berseri-seri itu tiba-tiba menjadi muram. 

“Menyamar sebagai pria sudah biasa kulakukan, Ko-ko, dan dalam hal ini Ayah dan Ibu memberi nasihat-nasihatnya. Memang kalau aku melakukan perjalanan di dunia kang-ouw, lebih leluasa kalau menyamar sebagai seorang laki-laki. Akan tetapi kali ini… ah, tidak apa aku berterus terang, bukankah kau kakakku sendiri? Dan siapa tahu, kau akan dapat membantu aku meringankan penderitaan yang amat membingungkan hatiku ini, Bu-ko.”

“Eh, semuda ini, segembira ini dapat menderita kesusahan? Ada apakah, Bi-moi? Apa yang kau susahkan? Tentu saja aku siap sedia menolongmu.” 

Gadis ini menarik tangan kakaknya, diajak duduk di tempat yang teduh. Lalu menarik napas panjang, kelihatan berduka.”

“Kau tidak tahu, Bu-ko. Kali ini aku bukan melakukan perjalanan untuk bersenang-senang seperti biasa, melainkan … aku telah lari dari Thai-san, pergi meninggalkan rumah tanpa pamit!”

“Heee?? Kenapa kau dimarahi ayah ibumu?”

“Bukan, bukan mereka yang marah melainkan akulah yang marah kepada mereka.”

“Aaiiih, kenapa kau ini? Tak baik marah-marah kepada orang tua, durhaka kau nanti,”

“Panjang ceritanya, Bu-ko. Tapi biarlah kusingkat saja. Kau tahu, Koko, selama aku berada di Thai-san bersama orang tuaku, entah sudah berapa belas kali, mungkin puluhan kali selama dua tahun ini, orang tuaku menerima lamaran orang atas diriku.” Gadis yang masih berpakaian pria itu merah sekali wajahnya.

“Mengapa kau tertawa-tawa?” tanyanya, cemberut.







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)