RAJAWALI EMAS JILID 145

Melihat kakeknya dikeroyok tujuh, Kong Bu berseru marah, tubuhnya melayang keatas panggung dan membantu kakeknya mengamuk. Song-bun-kwi makin terbahak suara ketawanya, seakan-akan pengeroyokan atas dirinya dan cucunya ini merupakan sebuah peristiwa yang amat menyenangkan hatinya!

Pada saat itu, para tamu makin gelisah dan banyak yang sudah pergi. Tiba-tiba kelihatan sepasukan orang-orang Ngo-lian-kauw yang memegang pedang dan menyerbu lalu mengurung tempat itu. Mereka yang terdiri dari lima puluh orang lebih ini berteriak-teriak, 

“Bayar kembali nyawa ketua kami!”

Beng San terkejut melihat ini. Celaka, pikirnya, tentu akan terjadi perang kecil yang akan mendatangkan banyak korban, apalagi ia melihat di belakang pasukan ini masih terdapat barisan lain dari Ngo-lian-kauw yang semua tidak kurang dari dua ratus orang jumlahnya! Sedangkan pertempuran diatas panggung masih amat seru dan ramai.

Tiba-tiba terdengar letusan-letusan dan kiranya orang-orang Ngo-lian-kauw itu sudah memasang banyak petasan dan obat peledak, mungkin merupakan tanda-tanda atau mungkin juga untuk mengacaukan keadaan. 

Tempat tamu sudah banyak yang kosong ditinggalkan. Pada saat itu terdengar sorak-sorai dan dari lereng gunung berlari-lari pasukan yang panjang. Setelah dekat, kiranya pasukan ini adalah barisan orang-orang pengemis dan di belakang pasukan ini berlari-lari pula sepasukan kecil prajurit kota raja mengiringkan seorang perwira tinggi besar. Semua menuju ke tempat itu.

Agaknya memang sudah ada dendam antara orang-orang Ngo-lian-kauw dan para pengemis itu karena begitu bertemu, segera terjadi pertempuran keroyokan. Melihat ini, Kun Hong segera berlari-lari ke depan dan berseru,

“Heee, bukankah kalian ini anggauta-anggauta Hwa-i Kai-pang? Berhenti, Jangan bertempur!”

Ketika para pengemis itu menengok dan melihat siapa yang bicara, mereka segera meninggalkan lawan, lari-lari menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu. Kun Hong mengenal Coa-lokai yang memimpin pasukan itu, segera ia memegang tangannya dan berkata girang,

“Coa-lokai kau yang datang? Saudara-saudara, bangunlah tak usah berlutut. Coa-lokai ceritakanlah mengapa kalian datang dan mau apa?”

“Mendengar bahwa Pangcu ditawan Pangeran, mengirim berita ke Hoa-san-pai lalu membawa teman-teman menyusul sampai kesini. Syukur Pangcu selamat, kami semua telah gelisah bukan main.”

Pasukan yang dikepalai perwira tinggi besar juga sudah sampai disitu dan segera terdengar perwira itu berseru sambil lari mendekati Beng San, 

“Adikku Beng San, apa artinya keributan ini?”

“Twako….!” 

Beng San berdiri dan dua orang ini berangkulan. Kiranya perwira ini bukan lain adalah Tan Hok atau Tan-taijin, 

“Memang aku sedang sial, mendirikan perkumpulan juga memancing datangnya keributan-keributan.”

Tan Hok menoleh dan melihat betapa tujuh orang pengawal istana sedang mengeroyok dua orang. Ia kaget ketika mengenal bahwa seorang diantara dua yang dikeroyok itu adalah Kakek Song-bun-kwi! Segera ia melompat maju dan beseru,

“Tujuh saudara pengawal harap berhenti dan turun. Tidak boleh kalian membikin ribut disini!” 

Suara Tan-taijin amat berpengaruh dan pula dikenal oleh para pengawal, maka segera mereka berlompatan turun dari panggung. Kiranya keadaan mereka payah, hampir kesemuanya sudah menderita luka-luka dan kepala bocor.

Diatas panggung, Song-bun-kwi berpelukan dengan cucunya, wajah kakek ini berseri-seri, matanya terbelalak dan pipinya yang kiri mengucurkan darah karena tersayat senjata lawan.

Ketika tujuh orang pengawal itu melapor bahwa mereka hendak menangkap tiga buronan Pangeran, Tan Hok menegur mereka, malah memperlihatkan sehelai surat keputusan dari Kaisar sendiri bahwa mereka tidak boleh mengganggu anak buah partai persilatan Hoa-san-pai. Melihat cap dan tanda tangan Kaisar, tujuh orang itu dengan tubuh gemetaran lalu menjatuhkan diri berlutut.





“Sudahlah, kalian pulang ke kota raja, jangan membikin ribut lagi dan usir para anggauta Ngo-lian-kauw yang hendak mengacau itu.”

Terhadap pembesar yang menjadi kepercayaan Kaisar ini, tentu saja tujuh orang pengawal itu mati kutu dan atas perintah Thian It Tosu, orang-orang Ngo-lian-kauw lalu meninggalkan tempat itu. Juga anggauta Hwa-I Kai-pang setelah dijamu lalu disuruh kembali oleh Kun Hong.

Para tamu sudah pulang semua, banyak yang tidak sempat berpamit. Yang masih tinggal disitu hanyalah Ketua Kun-lun-pai, Bun Lim Kwi dan Bun Wan, juga Song-bun-kwi yang sekarang sudah “jinak” dan baik kembali, dan Tan Hok. 

Sebelum mereka beramai diajak ke puncak, tiba-tiba dari lereng gunung berlari-lari beberapa orang menuju tempat itu dan setelah dekat, segera Kun Hong, Hui Cu, dan Li Eng berlari-lari menyambut.

Mereka ini bukan lain adalah Kwa Tin Siong Ketua Hoa-san-pai. Lim Sian Hwa isterinya, Lee Giok ibu Hui Cu, dan Thio Bwee ibu Li Eng. Tokoh-tokoh Hoa-san-pai ini menyusul ke Thai-san setelah mendengar berita dari anggauta pengemis Hwa-I Kai-pang bahwa anak-anak mereka di kota raja tertawan Pangeran tapi lolos secara aneh. Karena gelisah akan keselamatan mereka, empat orang tua ini menyusul, menyelidik dan akhirnya sampai juga ke Thai-san biarpun sudah agak terlambat.

Kegembiraan keluarga Thai-san-pai sukar dilukiskan. Apalagi Beng San, bertemu dengan orang-orang yang dahulu dikenalnya begitu baik, orang-orang Hoa-san-pai yang mendatangkan banyak peristiwa dalam hidupnya, ia menjadi terharu dan juga gembira. 

Apalagi karena ia sudah mendengar dari Cui Bi bahwa kedua orang puteranya saling mencinta dengan dua orang gadis Hoa-san-pai itu, dua orang gadis anak dari Thio Bwee dan Thio Ki, teman-teman lamanya di waktu ia masih kecil! Alangkah akan bahagianya merangkapkan jodoh mereka.

Juga pihak Hoa-san-pai amat gembira melihat anak-anak mereka selamat, malah dapat bertemu dengan orang-orang yang memang sudah lama mereka rindukan. Yang nampak kurang gembira adalah Bun Lim Kwi dan puteranya, akan tetapi dalam suasana penuh kegembiraan itu, tiba-tiba buyar dan berubah menjadi suasana penuh duka ketika orang-orang Hoa-san-pai ini mendengar tentang kematian Kwa Hong yang jenazahnya masih berada di puncak. Tentu saja yang paling berduka adalah Kwa Tin Siong, sebagai ayah dari Kwa Hong.

Beramai-ramai mereka dipersilakan naik ke puncak melalui jalan rahasia dan terowongan. Jenazah Pak-thian Locu yang lain-lain sudah pula diurus oleh anak buah Thai-san-pai. 

Sin Lee menangis mengguguk di depan peti mati ibunya, membuat semua menjadi terharu, terutama Hui Cu yang juga menangis sampai kedua matanya menjadi merah.

Song-bun-kwi duduk di kursi menarik napas panjang, lalu terdengar suaranya yang parau dan dalam,

“Ahhh, kalau sudah menjadi begini, barulah kita semua merasa betapa hidup ini tidak akan langgeng. Sekali waktu akan datang maut merenggut nyawa kita dan kita semua akhirnya akan menjadi mayat, habis sudah semua riwayat. Kalau sudah begini baru kita ingat betapa semua pertikaian, semua keributan dan kegaduhan, musuh-memusuhi, berlumba kepandaian, dan lain-lain itu hanyalah perbuatan orang gila saja.” Kemudian kakek yang tinggi besar itu berdiri berdongak keatas dan berseru keras-keras,

“Betapa banyak sudah aku membunuh manusia, aku dijadikan alat oleh Maut. Apakah Maut akan berterima kasih kepadaku? Tidak, sekali waktu Maut akan merenggut nyawaku pula. Aku menyesal! Ah, Beng San mantuku, sediakanlah sebuah guha kecil untuk aku, aku hendak mengasingkan diri, menghukum diri menebus dosa!”

Tiba-tiba terdengar suara aneh dari angkasa,
“Ho-ho, Song-bun-kwi, akhirnya kau insyaf juga, tapi terlambat, tanganmu sudah terlampau kotor berdarah. Betapapun juga, keinsyafanmu berguna pula bagi anak keturunanmu, menjadi pengingat dan penyadar!”

Semua orang kaget memandang ke atas dan tampaklah seekor burung rajawali berbulu emas ditunggangi oleh seorang kakek tua renta berpakaian butut. Burung itu menukik ke bawah dan kakek itu meloncat turun.

“Kim-tiauw-ko…..!!” 

Sin Lee dan Kun Hong berbareng lari menghampiri burung itu dan dua orang pemuda ini memeluk leher burung rajawali yang bulunya indah seperti emas itu. Mereka saling pandang dan kini mengertilah keduanya mengapa mereka melihat dasar-dasar sama dalam ilmu silat mereka.

Burung itupun mengenal Kun Hong dan Sin Lee, dengan mengeluarkan suara girang ia menggosok-gosokkan leher dan kepalanya pada dua pemuda itu. Kemudian Kun Hong berlutut memberi hormat kepada kakek yang bukan lain adalah Sin-eng-cu Lui Bok ini,

“Ha-ha, Sin-eng-cu Lui Bok! Kalau saja kemarin kau datang, tentu aku akan menantangmu bertanding!” kata Song-bun-kwi sambil tertawa, sikap orang aneh ini sudah berubah pula.

“Bagus, kau sudah insyaf sekarang, tulang-tulangku yang tua selamat dari gebukanmu.” jawab kakek itu. 

Beng San yang sudah mendengar nama besar Sin-eng-cu Lui Bok lalu mempersilakan kakek itu duduk. Akan tetapi kakek itu menolak dan berkata,

“Kedatanganku hanya untuk bicara sedikit dengan Kun Hong.” Ia menoleh kepada pemuda itu sambil mengerutkan kening dan berkata,

“Kun Hong aku tidak hendak mendahului kehendak Thian Yang Maha Kuasa. Akan tetapi aku minta kepadamu, orang muda yang kukasihi, aku minta kepadamu dengan sangat, sekarang juga kau ikutlah bersamaku. Marilah kita bertapa dan menjauhkan diri dari keruwetan dunia.”

“Tapi… tapi… Susiok, aku….” Ia memandang kepada orang tuanya, kepada orang-orang yang dikasihinya dan terutama kepada Cui Bi. ”Biarlah lain kali aku mengunjungi Susiok.”

Kakek itu berdongak ke udara, menarik napas panjang. 
“Thian Yang Maha Kuasa, kehendak-Mu selalu terjadilah. Tiada kekuasaan lain di dunia ini dapat mengubah kehendak-Mu. Sudahlah, selamat tinggal semua.” 

Ia meloncat keatas punggung rajawali dan burung ini segera terbang sambil mengeluarkan pekik panjang, agaknya ucapan selamat tinggal pula

Upacara penguburan dilakukan sederhana. Setelah selesai, Beng San dan isterinya lalu mempersilakan para tamunya untuk makan bersama. Hari itu adalah hari ke tujuh semenjak terjadinya keributan pada hari pendirian Thai-san-pai itu.

Mereka makan minum dengan asyik dan gembira. Para tokoh Hoa-san-pai mendengarkan penuh keheranan dan ketakjuban ketika mendengar cerita tentang sepak terjang Kun Hong. Terutama sekali Kwa Tin Siong yang mendengar semua hal puteranya itu, ia terheran-heran dan berkali-kali menggeleng kepala.

“Aku sengaja melarang dia belajar ilmu silat dengan maksud agar dia jangan sampai tersesat seperti encinya. Siapa tahu dia malah mendapatkan ilmu lebih jahat daripada Kwa Hong,” katanya.

Song-bun-kwi tertawa bergelak. 
“Ha-ha-ha, Kwa-sicu mengapa bicara begitu? Tidak ada ilmu yang jahat, tergantung dari orangnya. Kalau ilmu dipergunakan untuk kejahatan, maka menjadi ilmu jahat, kalau dipergunakan untuk kebaikan, ilmu yang itu juga menjadi ilmu baik. Puteramu benar-benar luar biasa sekali, dan kalau kau berbesan dengan mantuku, ha-ha-ha, akan benar-benar cocok sekali!” Kakek ini tertawa bergelak dan minum araknya.

Pucat wajah Beng San mendengar omongan mertuanya yang lancang sekali ini. Ia melihat betapa Bun Lim Kwi dan Bun Wan menjadi merah sekali mukanya, maka cepat ia berkata sambil tertawa,

“Ah, Gak-hu tidak tahu persoalannya maka bicara main-main. Baiknya kuberitahukan kepada semua yang hadir bahwa anakku yang bodoh, Tan Cui Bi, sebetulnya sudah kuikatkan jodoh dengan putera Kun-lun-pai, Bun Wan putera dari sahabatku Bun Lim kwi ini.”

Song-bun-kwi hanya berkata, “ah-oh-ah-oh” lalu minum araknya lagi untuk menghilangkan ketidak enakan hatinya. Akan tetapi muka Kun Hong menjadi pucat seperti mayat. Baiknya pemuda ini cepat dapat menguasai hatinya sehingga mukanya berubah merah lagi.







Next>>

Postingan populer dari blog ini

RAJA PEDANG (BAGIAN PERTAMA SERIAL RAJA PEDANG)

RAJAWALI EMAS (BAGIAN KE-2 SERIAL RAJA PEDANG)

JAKA LOLA (BAGIAN KE-4 SERIAL RAJA PEDANG)